Kamis 06 Jun 2024 08:29 WIB

Ijtima Ulama Tetapkan Dana Zakat Bukan Keuangan Negara

Ada dua pandangan yakni zakat sebagai keuangan negara dan zakat keuangan keagamaan.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI melalui Rumah Sehat BAZNAS (RSB) terus mengupayakan layanan kesehatan gratis di berbagai daerah.
Foto: Dok. BAZNAS
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI melalui Rumah Sehat BAZNAS (RSB) terus mengupayakan layanan kesehatan gratis di berbagai daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Diskursus mengenai apakah zakat termasuk keuangan negara masih terjadi. Berdasarkan Ijtima Ulama ke VIII di Bangka baru-baru ini, terdapat dua pandangan besar mengenai status dana zakat.

Dalam ketetapan hukumnya, Ijtima Ulama mengungkapkan,  dana zakat yang dibayarkan muzakki melalui amil zakat merupakan dana mustahik, bukan milik amil dan bukan keuangan negara.  Dana zakat didistribusikan hanya untuk kepentingan khusus mustahik, yaitu muslim yang fakir, miskin, amil, mualaf, yang terlilit utang, riqab, ibnu sabil, dan/atau fi sabilillah.

Baca Juga

Meski demikian, dalam pertimbangannya, Ijtima Ulama menjelaskan dua pandangan terkait dana zakat.Pandangan pertama, zakat dikategorikan sebagai keuangan negara dilihat dari berbagai aspek, antara lain, zakat dapat dikategorikan sebagai Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum sehingga masuk ke dalam lingkup keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Berikutnya, aspek kelembagaan dan akuntabilitas Baznas dalam pengelolaan dana zakat, di mana Baznas merupakan badan yang diangkat oleh negara. Demikian dengan lembaga amil zakat dapat beroperasi karena mendapatkan izin dari Kementerian Agama. Pembayaran zakat sebagai dasar atas pengurang objek harta terkena pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 Tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, dan PMK No. 254/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.

Pertimbangan selanjutnya, yakni kerugian negara terkait pengelolaan zakat pada Baznas. Ijtima Ulama dalam pertimbangannya juga menjelaskan, pandangan lain mengatakan bahwa zakat bukan keuangan negara. Pertimbangannya yakni zakat dapat dikategorikan sebagai keuangan negara dengan syarat bersifat wajib dan memaksa, sebagaimana pajak yang merupakan bagian dari keuangan negara sesuai dengan UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Negara juga merupakan  pendapatan negara, di mana mekanisme penerimaan dan pengeluarannya dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/menggunakan SPM untuk meminta izin Menteri. Pemungutnya pun berasal  negara sebagaimana tata kelola pajak, di mana pemungutan dan pengelolaannya dilakukan secara langsung oleh pemerintah.

Pengelolaan ini dilakukan lembaga negara yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai pengelola zakat sebagai sumber pendapatan negara. Sebagaimana Kementerian Keuangan di Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari lembaga negara yang ditugasi oleh undang-undang untuk untuk mengelola keuangan negara seperti pajak.

Secara fiskal kenegaraan yang masuk dalam Perencanaan Keuangan Negara oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) yang menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL).

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement