Sabtu 24 Oct 2015 07:00 WIB

Ketika 'Cobra' Menguasai Ibu Kota

REPUBLIKA.CO.ID,

Anda pernah kecopetan uang atau barang berharga? Atau istri Anda kalungnya dijambret penjahat saat kepasar. Jangan panik. Karena upaya untuk mendapatkan kembali barang-barang tersebut masih terbuka. Asal saja Anda mengetahui lokasi tempat penjahat beraksi. Apalagi kalau mengetahui ciri-ciri pelakunya itu. Biasanya barang yang dirampas tersebut dalam beberapa hari bisa kembali lagi.

Untuk mendapatkan kembali barang-barang tersebut kita harus melapor kepada tokoh masyarakat setempat yang oleh orang Betawi disebut jagoan. Misalnya Anda kecopetan di daerah Tanah Abang. Mintalah pertolongan pada jagoan di daerah ini. Kalau ia berkenan membantu, ia pun kemudian memerintahkan pada anak buahnya untuk mencari pelaku kejahatan tersebut.

Untuk meminta agar barang-barang tersebut dikembalikan. Biasanya, tanpa cingcong permintaan ini dituruti. Karena yang disebut penjahat waktu itu sangat hormat dan segan kepada para jagoan.

Hingga mereka tidak langsung menjual barang-barang hasil kejahatannya. Menunggu dua atau tiga hari. Takut ada yang minta dikembalikan. Tapi, setelah barang tersebut kembali Anda dapatkan, Anda tidak pernah ditekan oleh si jagoan untuk memberikan komisi atas jasa-jasanya itu. Karena prinsip jagoan Betawi dalah memberikan pertolongan tanpa mengharapkan balas jasa.

Tapi, kejadian ini jangan diharap akan terjadi sekarang. Karena apa yang kami ceritakan di atas terjadi pada tahun 1950'an. Saat Cobra, sebagai kelompok pelayanan jasa keamanan dibentuk oleh Kapten Imam Syafi'i, yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Pi'ie. Anak Betawi dari Tanah Tinggi (Senen), Jakarta Pusat yang pernah menjadi menteri pada masa Bung Karno ini, amat mengetahui liku-liku keamanan di ibu kota. Ia melalui organisasi Cobra-nya banyak membantu pihak kepolisian dan aparat keamanan.

Pak Pi'ie lah yang pada masa revolusi fisik memimpin para pemuda Senen menghadapi Belanda di front terdepan. Yang menyebabkan ia dijuluki jagoan Senen. Dengan mendirikan Cobra, dimaksudkan oleh Bang Pi'ie untuk menampung temannya para pejuang. Karena setelah pengakuan kedaulatan banyak yang menjadi penganggur. Sebagai barisan keamanan bayangan, Cobra memiliki cabang-cabang di berbagai tempat di ibu kota. Dengan pos-pos keamanannya.

Organaisasi ini mendapatkan dana dari toko-toko, rumah makan dan tempat hiburan, termasuk usaha perjudian. Kalau kita memasuki tempat-tempat ini pada tahun 1950'an akan didapati foto Imam Sjafii. Menunjukkan bahwa pemiliknyua punya hubungan dengan Cobra.

Hubungan persaudaraan diantara para anggota Cobra boleh dikatakan sangat dihormati. Seperti dituturkan oleh H. Irwan Sjafi'ie (70), yang waktu itu sering 'berhubungan' dengan Pak Pi'ie, Cobra sering mengadakan pertemuan diantara para anggotanya. Dalam acara yang biasanya dibarengi dengan hajatan salah seorang anggotanya, Pak Pi'ie selaku pimpinan Cobra memberikan pesan-pesan. Meminta agar mereka menjaga benar-benar keamanan

wilayahnya dan tidak bertindak sendiri.

Tidak heran, berkat kepemimpinannya, anggota Cobra makin banyak. Tapi, sayangnya bermunculan pula berbagai organisasi keamanan pesaingnya. Di antara yang masih diingat oleh Irwan Sjafi'i adalah 'Ular Belang' dan PKK (Pelaku Kemanan Kampung). Hingga di pintu-pintu toko dan tempat hiburan penuh dengan tempelan berbagai organisasi ini.

Bersamaan dengan itu, di Jakarta bermunculan gang-gang pemuda. Seperti Selendang Boy, Good Boy, Anoman Boy dan masih puluhan nama lagi. Akibatnya, seperti juga sekarang, ketika itu sering terjadi perkelahian antargang, yang umumnya mengarah antar etnis. Berkat pengaruh Imam Syafi'i perkelahian ini cepat terselesaikan, bila ia dan Cobra-nya turun tangan.

Takut menghadapi resiko lebih besar, KMKB (Komando Militer Kota Besar) Djakarta Raja, mendata semua organisasi keamanan. Kemudian organisasi-organisasi itu dibubarkan karena dianggap resahkan masyarakat. Pak Pi'ie menerima baik pembubaran Cobra, sekalipun berhasil ikut menciptakan keamanan di ibu kota.

Cobra menerapkan disiplin yang keras pada anggotanya. Bila mereka kedapatan melanggar hukum atau tidak solider pada kawannya yang dapat musibah, misalnya, yang bersangkutan akan dipanggil Pak Pi'ie. Ia sendiri yang kemudian menghukumnya. Biasanya orang tersebut dipukul dengan buntut ikan parie yang ujungnya berduri. Apalagi bermain serong dengan istri orang, kata H. Irwan, sangat dibenci Imam Sjafii. Mereka akan dipecut dengan buntut parie hingga yang bersangkutan terampun-ampun.

Ketika berpangkat Letkol, Imam Sjafii menjadi SPRI KSAD Jenderal Nasution. Di maksa jabatannya inilah ia ditangkap atas perintah langsung dari Bung Karno (1962). Dengan tuduhan ia dan kawan-kawannya akan melakukan kekacauan. Tapi, setelah peristiwa G30S/PKI, Bung Karno yang selalu dirisaukan oleh demo-demo mahasiswa dan pelajar, mengangkatnya sebagai Menteri Keamanan Ibukota. Sebelum jadi menteri, Pak Piie

terlebih dulu melapor pada Pak Nas, yang merestuinya. Ia meninggal 1980'an.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement