REPUBLIKA.CO.ID, Ketika mengalahkan armada Portugis di Sunda Kelapa (1527), Fatahillah, panglima dan ulama Kerajaan Islam Demak langsung mengganti nama bandar di Teluk Jakarta itu menjadi Jayakarta. Nama ini diambil dari surat Al-Fath ayat pertama yang berbunyi: ''Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.'' Kemenangan yang nyata oleh Fatahillah diartikan sebagai Jayakarta.
Fatahillah dan pasukan-pasukannya itu, saat mengenyahkan Portugis dari bandar Sunda Kelapa menyadari bahwa peperangan di Teluk Jakarta ini merupakan perang suci demi syiar Islam. Karena kedatangan Portugis di Indonesia tak dapat dipisahkan dari missi Kristen. Apalagi sebelumnya negara di Eropa Barat ini telah menguasai Malaka, yang merupakan jalur pelayaran penting ke Indonesia.
Mr Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, tegas-tegas menyebutkan bahwa kedatangan Portugis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan Perang Salib. Karena menurut Hamid Algadri, dengan menguasai Indonesia, Portugis ingin memotong rute perdagangan yang sudah terjalin berabad-abad antara negara-negara Islam di Timur Tengah dengan Kepulauan Indonesia.
Portugis berpendapat akibat menguasai rute perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Indonesia inilah menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik negara-negara Islam. Perlu dimaklumi, abad ke-15 dan 16 Portugis dan Spanyol masih terlibat dalam Perang Salib di Semenanjung Iberia (Spanyol). Dengan Portugis menjadi pemimpin agama Kristen melawan Islam. Perdagangan rempah-rempah waktu itu dari Kepulauan Indonesia melalui Selat Malaka sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke Laut Merah. Baru kemudian diperdagangkan ke Eropa.
Jadi, ketika Portugis menaklukkan Selat Malaka dan berupaya menaklukkan Indonesia, menurut Hamid Algadri bukan hanya punya motif dagang, tapi juga agama.
Hampir satu abad setelah Portugis diusir dari Sunda Kelapa, Gubernur Jenderal JP Coen (1619), saat menaklukkan Pangeran Jayakarta sekaligus membakar keraton dan sebuah masjid milik pangeran dan anak buahnya. Tapi, pada awal-awal penjajahan itu Belanda selalu mendapat perlawanan baik dari Pangeran Jayakarta dan anak buahnya yang bergerilya di hutan-hutan sekitar daerah Jatinegara. Perlawanan yang lebih dahsyat
juga datang dari Kerajaan Islam Mataram, selama dua kali mengirimkan ekspedisi militer ke Jakarta. Di susul dengan pasukan-pasukan dari Kesultanan Islam Banten.
Di Indonesia, Belanda menyadari kenyataan bahwa sebagian besar penduduk negeri yang dijajahnya ini beragama Islam. Berbagai peperangan seperti Perang Paderi (1821-1827) di Sumatera Barat. Disusul Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) semuanya tidak lepas dari ajaran dan semangat Islam. Masih banyak lagi pemberontakan yang dilakukan para pejuang Islam yang membuat repot pemerintah kolonial.
Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada 1889, tokoh Kristen yang menguasai bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang dalam, ia dengan politik Islamnya berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. (H Aqib Suminto - Politik Islam Hindia Belanda).
Bagi Snouck, yang pernah berhaji, musuh kolonialisme Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Sekalipun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun Snouck menyadari bahwa orang Islam di Indonesia memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck membedakan Islam dalam arti ''ibadah'' dengan Islam sebagai ''kekuatan sosial politik''. Karenanya pemerintah kolonial Belanda berupaya agar umat Islam hanya gandrung pada hal-hal ritual semata. Dan menghalangi kajian-kajian Islam karena ditakutkan bisa menimbulkan perlawanan. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijaksanaan pemerintah kolonial
dalam menangani masalah Islam di Indonesia.