REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Setelah hampir 40 tahun (saat itu tahun 2009 lalu), saya kembali naik trem listrik. Tapi, bukan di Jakarta, melainkan di Negeri Belanda. Karena, trem di Jakarta sejak awal 1960 sudah tamat riwayatnya. Dibongkar atas perintah Presiden Soekarno
pada masa Gubernur Sudiro.
Bung Karno berpendapat angkutan massal itu tidak cocok untuk Jakarta. Dia lebih setuju kereta api bawah tanah (metro). Tapi impiannya sampai kini tidak terwujud.
Di Belanda dan beberapa negara Eropa trem listrik merupakan salah satu transportasi utama yang digandrungi masyarakat karena murahnya. Kendaraan ini di disaiun sangat mewah. Naik trem sangat menyenangkan.
Kendaraan ini yang menggelinding di hampir semua jurusan berjalan tanpa menunggu penumpang penuh. Keberadaan trem yang berada di satu jalur dengan mobil dan sepeda yang memiliki jalur khusus, tidak menghambat arus lalu lintas.
Bahkan, di beberapa tempat terdapat jalur khusus untuk bus kota yang rata-rata besarnya dua hingga tiga kali bus Trans Jakarta. Ketika menuju Valendom, tempat rekreasi tepi pantai sekitar 20 km dari Amsterdam, terjadi kemacetan karena hari libur. Tapi tidak ada satupun kendaraan yang 'nyeleweng' ke jalur bus kota. Rupanya dalam berdisiplin lalu lintas, kita perlu banyak belajar pada bekas penjajah.
Di Belanda, kini makin semarak masyarakat bersepeda saat ke kantor ataupun ke pusat-pusat perbelajaan. Kita akan mendapati nenek dan kakek dengan santainya mengenjot kendaraan roda dua ini. Rupanya masyarakat makin meyakini perlunya hidup sehat.
Seperti dikemukakan dr Fuad Jindan, yang tengah mengambil spesialis jantung di salah satu rumah sakit di Jerman, usia hidup masyarakat Jerman rata-rata 89 tahun (wanita) dan 85 tahun (pria). Usia pensiun 69 tahun.
Di Belanda, menurut data sebuah majalah tahun 2008, terjadi peningkatan sepeda sebanyak 750 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. Gubernur Fauzi Bowo saat itu pernah mengutarakan perlunya jalur khusus sepeda. Tapi dia mensyaratkan bila pengguna sepede sudah mencapai dua juta orang.
Kembali ke soal trem, hampir bersamaan dengan di Belanda, di Batavia pada akhir abad ke-19 tepatnya pada tahun 1887 trem sudah beroperasi. Terminalnya di pintu gerbang Amsterdam -- sekitar 100 meter -- dari Pasar Ikan. Sekarang di Jalan Tongkol dan Jl Cengkeh, Jakarta Utara.
Pada awal masa kolonial Jl Cengkeh dinamakan Prinsen Straat dengan gedung-gedung megah dan pepohonan rindang berjejer di tepi kanal. Di sinilah para warga Belanda mandi dan buang hajat di semacam getek yang mereka bangun di depan kediaman masing-masing. Jl Tongkol dinamakan Kanalweg. Sedangkan Jl Kunir dinamakan Leauwinner Weg.
Dari pintu gerbang Amsterdam trem berbalik ke selatan menuju Stadhuisplein (kini Taman Fatahillah, depan Museum DKI Jakarta). Kemudian, berbelok ke barat menuju Binnen Nieuw Straat (Jl Pintu Besar Selatan) setelah melewati Buiten Nieuw Straat (Pintu Besar Utara). Melewati Molenvliet West (Jl Gajah Mada) terus ke Harmoni dan berakhir
di Pasar Tanah Abang sebagai terminal selatannya.
Dari Pasar Tanah Abang trem menyusuri Kampung Lima Weg (kini Sarinah dan Jakarta Teater) bersebelahan Laan Hollee (Jalan Sabang), ke arah Tamarindelaan (kini Jl Wahid Hasyim), Kebon Sirih, Kampung Baru (Jl Cut Mutia) terus ke Kali Pasir dan Kramat.
Dari Kramat trem menuju Jakarta Kota melewati Pasar Baru, Wilhelmina Park (kini Istiqlal), Rijswijk (Jl Veteran), berbelok ke arah kanan melawati Harmoni terus ke terminal terakhir di Pasar Ikan. Jalan trem terpanjang adalah Jatinegara - Pasar Ikan melawati Matraman, Salemba, Kramat, Gunung Sahari, Pasar Baru, Sawah Besar dan berbelok ke arah kanan menuju Pasar Ikan setelah melewati pertokoan Glodok.
Pada masa Belanda, nama tokoh yang mendiami daerah setempat banyak dijadikan nama jalan. Nama Kwitang, Jakarta Pusat, berasal dari nama seorang Tionghoa, Kwik Tamg Kiam. Di sini terdapat Gang Adjudant (kini Kramat Kwitang II, tempat majelis taklim Kwitang). Adjudant nama salah satu jabatan struktural pemerintahan di Batavia masa kolonial. Rupanya di jalan ini dulu tinggal seorang ajudan.
Dahulu banyak keluarga Alatas tinggal di kawasan Cikini. Karena itu, Jalan Cimandiri dinamakan Alataslaan. Sekarang banyak pemberitaan mengenai KPU di Jalan Imam Bonjol. Dimasa Belanda dinamakan Nassau Boulevaard.
Berdekatan dengan Gedung KPU terletak Museum Perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Di tempat inilah pada tanggal 16 Agustus 1945 menjelang 17 Agustus, Bung Karno dan Bung Hatta bersama puluhan pemuda merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan RI.
Jl Percetakan Negara di Jakarta Timur pada masa Belanda bernama Drukkerijweg. Sedangkan Jl Krekot III bernama Gang Dimas, nama seorang Belanda yang tinggal di jalan ini. Jl Pejambon tempat Departemen Luar Negeri berada dulunya bernma Hertog Laan.
Bekas kediaman Panglima Angkatan Bersenjata Belanda itu dijadikan sebagai Gedung Pancasila. Karena, dari tempat inilah pada 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato yang kemudian menjadi dasar negara. Di gedung Pancasila inilah Bung Karno dan Bung Hatta dilantik, dan dihasilkan UUD 1945.
Masih ada ratusan nama tempat, kampung dan jalan dalam bahasa Belanda yang kini sudah diganti. Sudah tidak terdapat lagi nama peninggalan Belanda.