REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Betapa lengangnya lalu lintas di Sluisbrug Straat (kini Jalan Pintu Air) pada awal abad ke-20. Terlihat delman atau sado, di depannya pengendara sepeda dan sebuah mobil tahun 1910-an. Juga, terlihat trem uap tengah meluncur ke arah Postweg (kini Jalan Pos) di Pasar Baru.
Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta Kota, melewati Stadhuisplan (Lapangan Fatahillah depan Museum Sejarah DKI Jakarta), Lindeteves (kini Pertokoan Harco), Molenvliet (Jalan Hayam Wuruk), Harmoni (kini Jl Majapahit), dan Risjwijk (Jalan Veteran). Dari sini, trem terus meluncur ke Postweg (kini Jl Pos depan Pasar Baru), Waterlooplein (Lapangan Banteng), Kramat, Matraman, dan berakhir di Meester Cornelis (kini terminal Kampung Melayu).
Trem uap sekitar lebih satu abad lalu, cukup membuat polusi karena mengeluarkan asap seperti tampak dalam foto. Sluisburg yang dalam bahasa Indonesia berarti pintu air, keadaannya sekarang ini masih tetap seperti tempo dulu. Adanya pintu air ini, untuk menghindari banjir yang terjadi sejak dulu di Jakarta saat bernama Batavia. Terlihat seorang polisi tengah mengatur lalu lintas di pos penjagaan di bawah tiang. Dalam mengatur lalu lintas, polisi tidak usah bekerja berat seperti sekarang. Cukup dengan tangan.
Dalam foto trem uap tengah melintas di depan Wilhelmina Park (kini Masjid Istiqlal) setelah dihancurkan sekitar 1960-an. Nama taman yang dulu merupakan salah satu tempat rekreasi di Jakarta, mengambil nama ratu Belanda ketika itu: Wilhelmina, nenek Ratu Beatrix sekarang ini. Dulu, di tempat ini, terdapat sebuah Benteng Citadel yang diyakini masyarakat terdapat terowongan bawah tanah (bunker) hingga ke istana. Karena itu, orang Betawi menyebutnya sebagai gedung taneh.
Seorang prajuit Belanda yang datang ke Batavia menjelang abad ke-20, mengisahkan di bagian depan trem uap adalah tempat masinis pribumi yang bertugas menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda berseragam, tapi tanpa alas kaki. Sementara kepala kondekturnya adalah seorang Eropa pensiunan negara.
Trem memiliki kelas satu dan dua, serta masih ada gerbong kelas tiga untuk pribumi yang membayar dengan murah. Ganjilnya adalah orang Tionghoa, Arab, dan Eropa tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga yang dikhususkan untuk pribumi. Ini ada kaitannya dengan prasangka rasial yang ketika itu umumnya masih dianut orang Eropa di Hindia Belanda. Pada 1925, penduduk Jakarta (Batavia) dan Meester Cornelis (Jatinegara) sekitar 300 ribu jiwa. Sedangkan jumlah warga Eropa, mencapai 28.845 jiwa.