REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Dalam acara Plesiran Tempo Doeloe yang diikuti lebih seribu peserta, pada akhir Desember 2009, banyak yang menyayangkan Hotel Des Indes, yang sangat bersejarah seperti terlihat dalam foto, digusur dan dijadikan pusat perbelanjaan Duta Merlin.
Hotel yang paling megah di Batavia pada masa Belanda digusur pada 1971. Hotel yang terletak di kawasan Harmoni, tepatnya Jalan Gajah Mada, pernah berfungsi sebagai tempat perjamuan negara Hindia Belanda dan tamu-tamu negara sebelum dibangunnya Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada 1962.
Kompleks Hotel Des Indes, yang berbatasan dengan Bank Tabungan Negara (BTN) di Jalan Jaga Monyet (kini Jalan Suryopranoto) dan Chaulanweg (kini Jalan Hasyim Ashari), pernah didatangi kepala-kepala negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955. Meski KAA berlangsung di Bandung, sebagian dari mereka tinggal di Hotel Des Indes Jakarta, demikian pula saat KIAA (Konferensi Islam Asia-Afrika).
Foto yang diabadikan pada 1930-an ini merupakan gedung baru Hotel Des Indes yang dirancang AIA Bureau dan selesai dibangun pada Maret 1930. Hotel yang telah beberapa kali mengalami perubahan ini didirikan pada abad ke-19 di atas tanah seluas 3,1 hektare.
Ketika dibongkar pada 1971, hotel ini berusia 161 tahun. Sampai 1960-an, Hotel Des Indes memfasilitasi acara-acara perkawinan masyarakat golongan atas. Berbagai pesta keramaian berlangsung di sini.
Walaupun dirancang dengan gaya arsitektur lebih modern, menurut Nadia Purwestri, direktur eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, bangunan ini tetap mempunyai teras yang lebar dan jendela-jendela besar sebagai ventilasi udara. Hal ini membuat ruang dalam tetap sejuk walaupun di luar panas.
Pada abad ke-19, saat jamuan-jamuan makan, termasuk makan malam, selalu disediakan es yang kala itu masih merupakan barang yang sangat mewah. Warga Barat yang umumnya tidak tahan terhadap udara panas selalu menyediakan es saat makan dan minum.
Pada pertengahan abad ke-19, untuk meminum es, seseorang harus mendatangkannya dari Boston, AS. Orang Jakarta menyebutnya es batu yang sampai awal 1960-an dijual di warung-warung Cina dan pedagang minuman di tepi jalan.
Dalam mengimpor es, diperlukan waktu hampir setengah tahun perjalanan dari Boston ke Batavia. Untuk pertama kalinya, kapal bermuatan es dari Boston berlabuh di Ceylon (Sri Lanka) pada April 1840. Lalu, mengapa harus mengimpor es ke Nusantara?
Pada waktu itu, orang belum mengenal lemari es. Untuk mendinginkan minuman, orang menggunakan koelbak, semacam peti yang dilapis timah hitam. Di dalamnya, diisi air dan salpeter (semacam sendawa atau anorganik kimia).
Untuk menghidangkan minuman dingin, orang membungkus botol minuman dengan kain dingin. Pabrik es baru pertama kali dibangun pemerintah pada 1870 di Prapatan, Jakarta Pusat. Kemudian, di Petojo, Jakarta Pusat. Sampai awal 1970-an, kulkas merupakan barang mewah di Jakarta dan jarang yang memilikinya.