REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Johannes Rach (1720-1783), mayor artileri VOC kelahiran Denmark, melukis Balai Kota Batavia (dalam bahasa Belanda disebut stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta di Jalan Fatahillah 1, Jakarta Barat. Di sebelah kanan jajaran pohon kenari, terdapat Gereja Belanda Lama (Oude Hollandshe Kerk-1736-1808) yang kini menjadi Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara 27, Jakarta Barat.
Balai Kota yang diresmikan pada 1710 merupakan balai kota baru setelah dibangun balai kota pertama tahun 1620 pada masa Gubernur Jenderal JP Coen. Sebelah kiri pepohonan rindang yang kini menjadi jalan lalu lintas padat, pada pertengahan abad ke-18, merupakan kanal (kali sodetan) yang diberi nama Tigersgrach atau Terusan Macan. Kanal yang berasal dari Ciliwung dan bermuara di Teluk Jakarta itu kini sudah tidak ada lagi.
Sampai awal abad ke-19, sebelum warga Eropa ramai-ramai meninggalkan kota tua, kawasan itu merupakan daerah elite. Gedung-gedung yang terlihat di sepanjang jalan adalah kediaman mereka.
Sementara itu, Tigersgracht merupakan tempat rekreasi. Sambil mandi dan berenang, mereka bersampan di seputar kanal yang airnya masih jernih. Di depan gereja, terlihat sebuah kereta kuda yang dinaiki kepala Pengadilan Belanda. Di belakangnya, ada dua orang budak yang siap memayunginya.
Kala itu, kebiasaan bagi pejabat VOC dan istrinya, bila bepergian, para budak belian akan memayunginya. Di tengah halaman balai kota, terlihat air mancur yang sekaligus menjadi tempat penjernihan air minum warga kota.
Balai Kota Jakarta pada masa VOC ini letaknya kurang lebih berada di tengah Kota Batavia, yaitu bagian Jakarta yang sampai 1809 dikelilingi tembok. Gedung ini berhubungan erat dengan baik buruknya puluhan ribu warga Kota Batavia dari aneka suku bangsa.
Balai kota selama dua abad memiliki berbagai fungsi, misalnya mengurus pernikahan dan pengadilan. Pada masa VOC (sampai 1800), keputusan hakim tidak selalu adil, bahkan sangat tidak adil. Mungkin, kondisi itu sama dengan mafia hukum pada saat ini yang tanpa mengenal malu memperjualbelikan perkara dengan cara menyogok hakim dan jaksa.
Di sebelah kanan balai kota dulu, terdapat tiang gantung untuk mengeksekusi orang-orang yang dikenai hukuman mati. Di bawah gedung ini, terdapat penjara bawah tanah yang menyeramkan dan sangat berbeda dengan Lapas Pondok Bambu.
Di penjara wanita Pondok Bambu ini, seorang yang dijerat karena korupsi mendapat tempat layaknya penghuni hotel berbintang. Begitu juga di penjara-penjara lain yang kini tengah ditertibkan.