REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Dengan menggunakan kereta yang ditarik dua ekor kuda (lihat foto), kita akan menelusuri kawasan Noordwijk (kini Jalan Juanda), Jakarta Pusat. Di sini dan di seberangnya Rijswijk (kini Jalan Veteran), yang dipisahkan oleh kanal sodetan Ciliwung, bersama dengan Molenvliet (Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada) serta Harmonie merupakan kawasan yang dibanggakan dan menjadi pintu gerbang Kota Batavia.
Bahkan, Belanda ingin mengembalikan Batavia sebagai Queen of the East yang pernah disandangnya pada abad ke-18 ketika membangun Weltevreden (daerah lebih nyaman) sekitar 10 km dari Kota Tua.
Di Noordwijk, pada masa kolonial merupakan pusat perbelanjaan termewah di Batavia. Di sebelah kiri gedung dengan arsitektur masa lampau, itu terdapat Gang Thibeult (warga Betawi menyebutnya Gang Tibo), yang kini menjadi Jalan Juanda III.
Dari nama Alfred Thibault, pengelola Club Harmonie (kini bagian dari Istana Kepresidenan yang diperluas). Sulit dibayangkan Noordwijk yang pada masa kolonial merupakan daerah yang menyenangkan, menjadi salah satu pusat kemacetan di Jakarta. Untuk menyeberang jalan saja, kita harus ekstra hati-hati karena kendaraan yang tidak pernah henti.
Kembali ke Jalan Juanda (Noordwijk) masa kolonial, di sini terdapat Hotel Emst, Hotel de Galeries, Hotel de L'Europe, berbagai kafe yang menyediakan makanan Eropa, serta penjahit A Herment & Bastiere yang menyediakan pesanan baju untuk sipil dan militer. Di Noordwijk, juga terdapat toko buku dan percetakan Kolff yang kini menjadi kantor PT Astra.
Di dekatnya hingga kini terdapat Klooster Ursulin tempat pendidikan untuk para biarawati. Tempat pendidikan biarawati ini memanjang hingga bagian belakangnya terletak Jalan Batutulis.
Pada masa Raffles (1811-1816), gubernur jenderal yang berambisi agar Hindia-Belanda terus dalam kekuasaan Inggris, telah menyulap Noordwijk dan Rijswijk menjadi kawasan Eropa. Untuk itu, pendiri kota Singapura ini telah menggusur tempat pemakaman umum, rumah penduduk, dan toko-toko milik orang Cina.
Charles Walter Kinloch, warga Inggris yang datang ke Batavia dari Singapura (1852), menyebutkan kehidupan elite Eropa dan Belanda penuh glamor. Wanitanya senang menggunakan pettycoot dari sutra, seperti kita saksikan di film-film Hollywood yang mengisahkan abad ke-19.
Mereka mendatangkan pakaian-pakaian mode terbaru dari Paris dan kota-kota besar Eropa lainnya. Pada malam hari, kelompok elite ini dihibur dengan pesta-pesta dansa dan menonton opera Prancis yang di Eropa sendiri masih langka. Dibukanya Club Harmonie dengan pesta-pesta taman yang selalu ramai memberi bobot pada kawasan ini.