Ahad 10 Jan 2016 07:00 WIB

Kampung Tanjung Priok 1867

Kampung Tanjung Priok 1867
Foto: Batavia Abad ke-19
Kampung Tanjung Priok 1867

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Untuk membangun pelabuhan baru menggantikan Sunda Kelapa yang sudah tidak dapat menampung kapal yang merapat, survei pun dilakukan di berbagai tempat di pantai utara Jakarta. Lalu, dipilihlah desa kecil ini.

Foto yang diabadikan fotografer Woodbury & Page pada 1867 atau 143 tahun lalu itu memperlihatkan kampung yang sudah bernama Tanjung Priok. Kampung itu dihuni oleh beberapa orang yang tinggal di rumah-rumah sederhana.

Rumah itu terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia. Di tepi pantai, tampak beberapa anggota tim survei yang sedang duduk di rakit yang terbuat dari bambu.

Tanjung Priok, yang pada 14 April 2010 lalu terjadi kerusuhan yang menewaskan tiga orang Satpol PP, namanya sudah dikenal sejak abad kedua masehi. Tentu saja, tidak punya kaitan dengan Mbah Priuk.

Dalam buku Babad Tanah Jawa, sejarawan Ridwan Saidi menuturkan nama Tanjung Priok berkaitan dengan Kali Tirem di kawasan ini yang pada abad ke-2 merupakan pusat perdagangan periuk. Alat untuk memasak dan tempat menyimpan air.

Sementara itu, nama Tanjung Priok sudah ditulis dalam buku Belanda pada abad ke-14. Bagi Belanda, pembangunan pelabuhan baru sangat mendesak. Di Sunda Kelapa, kapal-kapal tidak lagi dapat berlabuh di dermaga. Penumpang pun harus diturunkan 800 meter jauhnya dari tepi pantai dengan menaiki perahu.

Apalagi, ketika itu, Terusan Suez (November 1869) sudah dibuka hingga memudahkan dan mempersingkat waktu bagi kapal-kapal yang datang dari Eropa. Sementara itu, kapal uap telah menggantikan kapal layar. Adanya Pelabuhan Tanjung Priok ikut memodernisasi Batavia dengan masuknya berbagai barang impor buatan Eropa.

Sejak abad ke-19, banyak berdatangan para imigran keturunan Arab (sebagian besar dari Hadramaut) di nusantara. Mereka umumnya datang tanpa istri dan banyak di antaranya merupakan penyebar Islam.

Kakek dari Habib Hasan yang oleh masyarakat setempat diberi gelar Mbah Priuk merupakan generasi keempat yang datang ke Indonesia. Habib Hamid yang wafat di Palembang pada 1820 adalah kakek buyutnya.

Dia adalah keturunan dari Habib Abdullah bin Alwi Alhadad, sufi besar Hadramaut dan pengarang 'Ratib Hadad'. Sampai sekarang 'Ratib Hada' dibaca sebagai 'amalan' di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timur Tengah.

Kakek buyut Habib Hasan Alhadad ini dimakamkan di Pemakaman Umum Babussalam Palembang pada 1820 M atau 7 Syawal 1235. Sultan mengangkat dia menjadi mufti di Kesultanan Palembang, yaitu setahun sebelum sultan terakhir ini dimakzulkan Belanda pada 1821.

Habib Hasan Alhadad atau Mbah Priuk, menurut sejumlah kerabatnya, meninggal dalam perjalanan dari Palembang menuju Jakarta bersama kerabatnya. Dia dimakamkan di Pondok Dayung, Tanjung Priok.

Pada 1929 atau 1930, saat perluasan pelabuhan dan pembangunan kereta api, jenazahnya dipindahkan ke pemakaman Jalan Dobo, Koja, Tanjung Priok. Pada 1997, makam Jalan Dobo dipindahkan ke Semper karena Lapindo II membangun terminal peti kemas.

Tidak diketahui apakah makam Habib Hasan dipindah ke Semper. Namun, sejumlah jenazah, termasuk jenazah Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yang wafat pada 1830, turut dipindahkan ke Semper.

Habib Abdullah bin Muchsin adalah kakek dari Habib Abdullah bin Alwi Alatas, salah satu tokoh pengikut gerakan Pan-Islam yang gigih. Dia ikut memelopori sejumlah pemuda keturunan Arab belajar di Turki saat pemerintahan Ottoman.

Habib Abdullah bin Alwi adalah menantu konsul Turki di Batavia. Tempat tinggalnya yang berada di Jalan Jatipetamburan, Jakarta Pusat, kini menjadi Museum Tekstil.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement