REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Dalam mempertahankan cagar budaya, Turki patut diacungkan jempol dan kudu ditiru. Ketika berkunjung ke Turki awal Juli 2010 selama 10 hari, Enis Ozacar (32 tahun) pemandu wisata kami, menyatakan dia akan membawa kami ke tempat-tempat bersejarah pada masa zaman kejayaan Yunani, ribuan tahun sebelum Masehi, masa Kesultanan Seljuk dan Ottoman saat Islam meluas ke Eropa. Tentu saja ke Musoleum Kemal Attaturk, pendiri Republik Turki di Ankara.
Selama 10 hari dan menginap di delapan hotel, rombongan menempuh jarak sepanjang 3.000 km atau kira-kira Jakarta-Denpasar pulang pergi. Perjalanan sepanjang itu terasa tidak terlalu membuat penat karena jalannya mulus hingga kendaraan melaju tanpa hambatan.
Tidak kami jumpai jalan-jalan rusak yang berimbas pada kemacetan. Hingga tidak merepotkan polisi lalu lintas yang di Turki jarang kita temui di jalan-jalan raya. Mereka juga disiplin dalam berlalu lintas.
Tak ada yang berani menerjang lampu merah dan motor jarang sekali terlihat di jalan-jalan. Hampir tidak terjadi kemacetan termasuk di Istanbul yang berpenduduk 12 juta jiwa dan Ankara dengan penduduk empat juta jiwa. Ibu kota Turki ini semula hanya sebuah desa dengan penduduk 16 ribu jiwa.