REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Pada 1955, menjelang Pemilu pertama, saya menghadiri kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) di lapangan Gambir (kini Monas), berhadapan dengan gedung Dana Reksa. Saya, sebagai pembaca koran Pedoman, tertarik pada PSI. Koran yang dipimpin Rosihan Anwar ini menjadi pendukung PSI, bersama Keng Po dan Indonesia Raya. Ketiganya, pada 1950-an dan 1960-an merupakan koran yang memiliki tiras terbesar di Indonesia.
Jumlah massa mengikuti kampanye ternyata tidak begitu banyak. Sekalipun hanya bagian kecil lapangan Gambir yang digunakan, masih tampak ruang-ruang kosong. Padahal, hadir Sutan Sjahrir, ketua umum PSI, Sumitro Djojohadikusumo, Subadio Sastrosatomo, dan sejumlah tokoh PSI lainnya. Jauh lebih sepi dibanding kampanye Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Dalam kampanye PSI itu hadir pula ketua partai sosialis Birma. Pada tahun-tahun tersebut di Asia dan Eropa banyak bermunculan partai sosialis yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan.
Sedikitnya pendukung PSI tercermin pada hasil Pemilu 1955. Partai yang dijuluki sosialis kanan (soska) karena gandrung kepada kelompok Troskis daripada Stalin yang berkuasa setelah meninggalnya Lenin itu hanya meraih lima kursi di parlemen merosot dari sebelumnya 17 kursi. Partainya Sjahrir yang dijuluki "Bung Kecil" itu tidak begitu laku di kalangan buruh dan tani, meski di kalangan terpelajar memiliki kader-kader militan yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis dan Gerakan Pemuda Sosialis.