REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA) 65 Jakarta, Indramojo angkat bicara mengenai desakan ke dirinya agar diganti hanya gegara ucapan ke murid soal belajar itu adalah menghapal. Padahal kepsek yang sudah mengajar lebih dari 24 tahun itu menganggap setiap murid sebagai anak kandung.
Pertama, Indramojo menyampaikan kenapa desakan ke dirinya muncul. Ini bermula dari pembelian karpet untuk masjid oleh seorang guru. Pengadaan itu kebetulan tidak dianggarkan di BOP dan dana BOS sekolah.
“Padahal kalau dianggarkan itu bisa, dia adakan sendiri entah dari toko mana, dia bawa ke sekolah kemudian sekolah membayar itu,” katanya kepada wartawan pada Jumat (7/6/2024).
Karena tidak masuk ke perencanaan, maka ia bersama guru-guru lain akhirnya melakukan rapat bersama. Disepakatilah oleh para guru agar secara ikhlas iuran untuk mengganti uang pembelian karpet. Pelunasan dan penyelesaian ke pihak toko pun berjalan dengan baik.
“Padahal kalau itu dimasukan ke pembelian belanja sekolah BOP dan BOS bisa itu, sangat disayangkan. Saya tegur beliau , pak guru...kurang pas penerimaannya, akhirnya menggalang teman-teman guru untuk ya untuk melakukan petisi,” ujarnya.
Sebagai kepala sekolah, Indra juga membantah melakukan hal dituduhkan seperti dalam petisi. Sebagai guru, ia adalah cerminan keluarga dan anak-anak di rumah. Ia bahkan menganggap setiap murid di SMAN 65 sebagai anak kandung sendiri.
“Saya menganggap anak-anak sekolah sebagai anak kandung saya, saya perlakukan sama. Misalnya pembelajaran di rumah cara belajar itu saya sampaikan,” paparnya.
Kedua, soal ucapannya ke anak murid bahwa belajar adalah menghapal itu juga dianggap ada kesalahpahaman. Ia membahas seperti itu agar bisa dipahami oleh para murid. Prinsipnya, ia ingin murid menginternalisasi dan mememorikan setiap pelajaran ke dalam ingatan.
“Jadi di dalam otak mememorikan, kalau bahasa saya ke peserta didik ya menghapal,” paparnya.
Ada juga kekeliruan soal ia yang berharap murid SMAN 65 melanjutkan ke perguruan tinggi negeri atau sekolah kedinasan. Permohonannya kepada para siswa mengenai itu semata-mata karena ia menganggap siswa sebagai anak kandung. Ini supaya mempermudah mereka ke depan misalnya untuk mencari pekerjaan.
“Pengalaman saya hidup di rumah saya bawa ke sekolah karena saya anggap mereka sebagai anak kandung berjuang keras supaya nggak susah. Memang kan terbatas ya sekolah kedinasan tapi harus dicoba dulu,” paparnya.
Ia merasa bahwa tidak semua murid di SMAN 65 juga sepakat dengan petisi itu. Ia berharap siswa tidak terprovokasi dan melihat persoalan ini secara objektif. Karena nama baik sekolah juga harus dijaga agar mereka bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
“Kalau nama sekolah kurang bagus di perguruan tinggi jadi tak nyaman. Saya ingin peserta didik tidak terprovokasi, makanya saya akan memberikan penjelasan ke mereka. Tapi saya pantau, guru-guru tetap menjalankan tupoksinya,” pungkasnya