Ahad 09 Jun 2024 10:17 WIB

Para Istri Banyak Gugat Cerai Suami di Indramayu, Alasan Ini Mendominasi

Perkara yang telah diputus sebanyak 5.785 cerai gugat dan 2.146 cerai talak.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Mas Alamil Huda
Sejumlah orang sedang mengajukan pendaftaran perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Rabu (5/7). Pasca libur lebaran, jumlah kasus perceraian di Kabupaten Indramayu membludak.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Sejumlah orang sedang mengajukan pendaftaran perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Rabu (5/7). Pasca libur lebaran, jumlah kasus perceraian di Kabupaten Indramayu membludak.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Kasus perceraian di Kabupaten Indramayu tercatat sangat tinggi. Alasan ekonomi menjadi faktor dominan penyebab perpisahan di antara pasangan suami istri di daerah tersebut.

Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, sepanjang 2023 lalu, tercatat ada 8.869 permohonan perceraian. Dari jumlah itu, sebanyak 7.931 perkara yang diputus atau dikabulkan hakim untuk bercerai.

Baca Juga

Humas PA Kabupaten Indramayu, Dindin Syarief Nurwahyudin, menyebutkan, perkara perceraian yang telah diputus tersebut terdiri dari 5.785 perkara cerai gugat dan 2.146 perkara adalah cerai talak. ‘’Jadi yang paling banyak mengajukan perceraian itu dari pihak istri,’’ kata Dindidn, Jumat (7/6/2024).

Dindin mengatakan, perkara perceraian yang diajukan selama 2023 itu meningkat sedikit dibandingkan pada 2022 lalu. Dia menyebutkan, sepanjang 2022, tercatat ada 7.771 perkara perceraian yang diputus.

Dindin menjelaskan, mayoritas alasan perceraian yang disampaikan oleh pemohon adalah karena faktor ekonomi. Menurutnya, faktor ekonomi yang rendah akhirnya memicu perselisihan di antara pasutri hingga berujung perceraian.

Selain itu, lanjut Dindin, ekonomi yang rendah juga mendorong salah satu pasangan, terutama istri, untuk bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). Meski secara ekonomi bisa menjadi solusi, namun keberangkatan istri ke luar negeri untuk bekerja dalam waktu lama akhirnya mengganggu ketahanan rumah tangga mereka.

Dindin menambahkan, selain faktor ekonomi, penyebab terjadinya perceraian di antaranya juga karena kurang matangnya emosi pasutri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Salah satu penyebabnya, karena usia mereka masih di bawah umur saat menjalani pernikahan.

‘’Tahun lalu saya pernah menangani perkara, umur 16 tahun sudah cerai,’’ ungkap Dindin.

Dindin menyebutkan, secara keseluruhan, pasangan yang mengajukan perceraian didominasi umur 22–30 tahun. ‘’Banyak (yang mengajukan perceraian), yang asalnya dari dispensasi kawin. Salah satu dampak negatif perkawinan di bawah umur adalah timbulnya perceraian,’’ terang Dindin.

Dindin mengungkapkan, pihaknya tidak langsung mengabulkan begitu saja permohonan cerai. Pihaknya mengupayakan untuk mencegah perceraian dengan mengadakan mediasi di antara pasutri yang hendak bercerai.

‘’Dari PA upayakan mediasi. Tapi paling sepuluh persen (pasutri) yang datang untuk mediasi. Dari jumlah itu, yang berhasil paling dua persen. Tapi ya itulah upaya kami di ‘muara’. Yang efektif (mencegah perceraian) harusnya upayanya dari hulu,’’ tukas Dindin.

Untuk itu, lanjut Dindin, dibutuhkan upaya bersama seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah terjaidnya perceraian. Termasuk peran tokoh agama, tokoh masyarakat, guru di sekolah, orang tua dan masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement