REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika
Polemik penganiayaan anjing di Plaza Indonesia menjadi perdebatan luas publik. Media sosial dipenuhi warganet yang pro dan kontra terhadap polemik hewan dan manusia yang saling terkait ini.
Singkat cerita polemik bermula dari penggalan video yang menampilkan security Plaza Indonesia bernama Nasarius tampak memukul anjing penjaga bernama Fay. Penggalan video ini kemudian diviralkan oleh artis Robby Purba.
Video sontak menjadi viral di berbagai lini. Video yang hanya satu versi itu membuat Nasarius, si security, jadi pesakitan utama. Hanya hitungan jam, dia pun dipecat dari pekerjaannya sebagai satuan keamanan Plaza Indonesia.
Nasarius harus kehilangan mata penghidupannya sebagai dampak sosial media yang diviralkan sang artis. Selain pemecatan, Nasarius panen hujatan.
Tak ada yang bisa dilakukan Nasarius selain pasrah dan membuat video permintaan maaf. Sambil menangis, Nasarius pun sedikit memberi pembelaan. Dia mengaku memukul Fay untuk mencegahnya memakan anak kucing.
Lepas dari video permintaan maaf itu, CCTV lengkap peristiwa tersebar. Ternyata pengakuan Nasarius betul adanya. Tak hanya di situ, hasil pemeriksaan dokter hewan memastikan pukulan Nasarius ke si anjing tidak berdampak serius pada kondisi hewan. Dampak paling serius malah menimpa Nasarius yang mata pencahariannya direnggut akibat unggahan di sosial media.
Warganet berbalik membela Nasarius. Sebaliknya artis yang memviralkan peristiwa, Robby Purba, dihujat habis warganet. Dalam peristiwa ini kronologi peristiwa tak lagi jadi penting. Namun substansi di balik peristiwa ini yang jadi penting. Ini terkait fungsi dan peran sosial media yang semakin salah kaprah.
Saya ingin menukil jurnal yang bertajuk Social Media is Redistributing Power (Yan, 2021). Jurnal ini mengulas peran sosial media untuk mempertipis jarak antara pemegang kekuasaan dengan rakyat yang berjarak dengan kekuasaan. Sosial media menjadi power bagi rakyat kecil yang tak memiliki power di dunia nyata.
Kita bisa melihat peran dan fungsi sosial media sebagai sarana distribusi kekuasaan dalam sejumlah kasus yang melibatkan orang besar. Sosial media berperan efektif bagi seorang yang sulit mendapatkan akses keadilan di dunia nyata. Sosial media jadi extraordinary force yang sulit dibendung sekalipun oleh pemegang kekuasaan di dunia nyata.
Distribusi kekuasaan yang dihasilkan sosial media tampak pada kasus Ferdy Sambo dan Mario Dandy. Meski mereka adalah orang yang punya banyak sumber kekuasaan, namun berkat power of social media kekuasaan itu bisa diimbangi rakyat kecil sehingga keadilan bisa diraih. Korban yang notabene rakyat kecil, seperti keluarga Brigadir Joshua Hutabarat dan David Ozora, biasa mendapat kekuatan untuk memperoleh keadilan.
Dalam kasus Nasarius terjadi anomali yang berkebalikan. Rakyat kecil yang tak memiliki power malah jadi korban dari sosial media. Teori bahwa sosial media bisa menjadi saluran distribusi kekuasaan dari si kuat ke si lemah tak berlaku sama sekali dalam kasus ini.
Orang yang dianggap pelaku hanyalah rakyat biasa yang tentu tak punya daya untuk mempengaruhi keadilan di dunia nyata. Seorang jenderal bintang dua saja bisa jadi pesakitan dihajar sosial media, apalagi security biasa.
Beruntung anomali ini bisa dikoreksi kembali oleh social media. Hanya hitungan hari, Nasarius yang tak memiliki banyak daya jadi berbalik menuai simpati lewat bukti CCTV. Apapun itu, kasus Nasarius dan anjing di Plaza Indonesia memuat banyak pelajaran. Pelajaran soal tak semua kasus mesti diselesaikan secara berlebihan di dunia maya.
Prinsipnya tetap sosial media sebagai distribusi kekuasaan bagi orang kecil yang sulit mendapat keadilan di dunia nyata. Saya kira artis macam Robby Purba tak akan kesulitan mencari keadilan. Kalaupun mau menyampaikan pesan soal perlindungan hewan, sampaikan setelah peristiwanya memiliki kedudukan yang kuat dan berimbang. Bukan justru langsung mengunduh lewat sudut pandang sepihak.
Terlalu berlebihan agaknya jika seorang pesohor macam Robby Purba memviralkan satpam yang akhirnya kehilangan pekerjaan. Terlebih tidak ada cek dan ricek yang teliti.
Inilah fenomena lain yang terjadi akibat sosial media. Kehangatan dan interaksi langsung semakin tergantikan sosial media. Kasus yang bisa diselesaikan langsung face to face jadi diperlebar hingga membuat polemik hingga menasional. Celakanya kini rakyat kecil macam Nasarius jadi pesakitan. Ini akibat jari yang bergerak lebih cepat dibanding mata, kepala, telinga, dan hati.