REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Judi online di era digital seperti sekarang terus menjamur, dimainkan oleh orang-orang di kampung, desa dan perkotan. Bahkan ada istri yang membakar suaminya hingga mati, diduga karena suaminya sering main judi online memakai uang belanja.
Lantas bagaimana hukum Islam memandang jika anak dan istri diberi nafkah hasil judi online? Apakah anak dan istri yang memakan hasil judi turut berdosa? Tim Layanan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menjawab pertanyaan tersebut dengan mengawalinya dengan ayat Alquran terkait judi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (QS Al-Ma'idah Ayat 90)
Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani dalam Tafsir as-Sam'ani (Riyadh, Darul Wathan, 1997) mengatakan ayat ini turun menceritakan tentang permainan judi yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa lalu.
Permainan judi ini dianggap sebagai perbuatan haram dalam Islam. Hal ini karena permainan judi termasuk dalam kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian.
Terkait hukum seorang istri, anak, dan keluarga yang memakan makanan hasil judi dari suami atau ayahnya, KH M Sjafi’i Hadzami, dalam buku 100 Masalah Agama mengatakan bahwa seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan istri) yang mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah, maka hal itu wajib ditinggalkan, artinya jangan dimakan.
Pasalnya, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibary dalam kitab Fathu al-Mu‘in, halaman 67 bahwa jika seseorang mengetahui barang tersebut secara lahiriah tidak baik (haram), maka orang tersebut akan dituntut di akhirat.
فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي
“Faidah: Jika seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dengan cara yang sah, tetapi ia mengira itu halal, padahal secara batin sebenarnya haram, maka jika orang yang memberinya itu tampak baik, maka ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Namun jika tidak (zahir barang tersebut tidak baik), maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Hal ini dikatakan oleh Imam Al-Baghawi.