REPUBLIKA.CO.ID, Badal haji memang kerap menjadi perbincangan di kalangan pakar fikih. Ada yang pro sementara lainnya kontra. Bagi yang berpendapat bahwa badal haji tidak sah, berpegang kepada beberapa ayat Alquran. Di antaranya surah al-Baqarah ayat 286. "...Ia mendapat pahala (dari ke bajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakannya ..."
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "(Yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya." (QS an-Najm [53]: 38- 39).
Sementara bagi yang membolehkan mengambil dalil dari beberapa hadis sahih soal badal haji. Di antaranya, dari Ibnu Abbas RA bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya utang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah utang kepada Allah karena utang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan." (HR Bukhari).
Dalam hadis lain, seorang wanita dari Khas'am berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah se sungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia ti dak bisa duduk tegak di atas pung gung unta." Lalu Nabi SAW bersabda, "Hajikanlah dia." (HR Muslim).
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah menjelaskan, ada ulama yang berpendapat jika hadis-hadis soal badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Alquran soal amal seseorang. Pendapat ini di dukung ulama dari kalangan Hanafiyah. Maka, kalangan ini berpendapat hukum dalam hadis-hadis tersebut tidak bisa berlaku.
Sementara, ulama lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis Ahad mempunyai kekuatan qath'i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat Alquran. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama Mutakallimin, khususnya ulama Syafi'iyah, yang mengatakan bahwa hadis Ahad apalagi hadis Mutawatir dapat menakhsis atau mengecualikan ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu, menurut mereka, anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah sendiri mengambil pendapat bahwa hadis-hadis di atas bisa diamalkan karena menjelaskan lebih perinci soal ayat-ayat Alquran. Sehingga boleh seseorang membadalkan haji untuk orang lain. Lantas, apakah yang membadalkan haji harus berang kat dari negara orang yang digantikan ataukah bebas dari mana saja? Jumhur ulama membolehkan orang yang menggantikan haji bebas berangkat dari negara mana saja. Tidak harus dari asal orang yang digantikan.