Selasa 11 Jun 2024 15:15 WIB

Jamaah RI Diminta Pahami Manasik, Jangan Sampai Hajinya tidak Sah

Rukun haji tidak dapat diganti dengan amalan lain walaupun dengan dam.

Seluruh jemaah haji Indonesia baik haji reguler maupun haji khusus sudah berada di Makkah. Mereka akan menjalani ibadah wukuf di Arafah pada 9 Zulhijah 1444 H/27 Juni 2023.
Foto: ANTARA FOTO
Seluruh jemaah haji Indonesia baik haji reguler maupun haji khusus sudah berada di Makkah. Mereka akan menjalani ibadah wukuf di Arafah pada 9 Zulhijah 1444 H/27 Juni 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jamaah haji Indonesia yang sedang menunggu prosesi puncak haji diminta memahami manasik haji seperti rukun haji dan wajib haji. Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan amalan lain, walaupun dengan dam. Jika rukun ini ditinggalkan, ibadah haji seseorang tidak sah. Rukun haji tersebut adalah, ihram (niat), wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’i, cukur (Tahallul) dan tertib.

Mengutip dari buku Manasik Haji yang diterbitkan Kementerian Agama, anggota Media Center Kementerian Agama Widi Dwinanda mengatakan, diperlukan syarat, rukun, dan wajib haji bagi seorang muslim yang akan menjalankan ibadah haji.

Baca Juga

“Jamaah perlu memiliki pemahaman yang baik tentang syarat, rukun, dan wajib haji, agar ibadah haji yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat,” kata Widi dalam keterangan resmi Kemenag di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (11/06/2024).

photo
INFOGRAFIS Ciri-Ciri Haji Mabrur - (dok rep)

“Seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus memenuhi syarat yaitu Islam, telah Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat), Merdeka (bukan hamba sahaya), dan Istita’ah (mampu),” sambung Widi.

Istita’ah, jelas dia, yakni bagaimana seseorang mampu melaksanakan ibadah haji ditinjau dari segi jasmani, rohani, ekonomi, keamanan. Secara jasmani, jamaah harus sehat, kuat, dan sanggup secara fisik melaksanakan ibadah haji. Dari segi rohani, jamaah mengetahui dan memahami manasik haji, lalu berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melaksanakan ibadah haji dengan perjalanan yang jauh.

“Secara ekonomi, jamaah haji mampu membayar biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditentukan oleh pemerintah dan berasal dari usaha/ harta yang halal,” jelas dia.

“Biaya haji yang dibayarkan bukan berasal dari satu-satunya sumber kehidupan yang apabila sumber kehidupan itu dijual terjadi kemudaratan bagi diri dan keluarganya, dan memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan,” ia menambahkan.

Dari segi keamanan, terang Widi, yaitu aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan, dan tidak terhalang, misalnya mendapat kesempatan atau izin perjalanan haji termasuk mendapatkan kuota tahun berjalan, atau tidak mengalami pencekalan.

“Sementara wajib haji adalah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji yang bila salah satu amalan itu tidak dikerjakan ibadah haji seseorang tetap sah, tapi dia harus membayar dam,” tuturnya.

Wajib haji tersebut yaitu Ihram, yakni niat berhaji dari miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jumrah Ula, Wusta dan Aqabah, dan tawaf Wada (bagi yang akan meninggalkan Makkah).“Jika seseorang sengaja meninggalkan salah satu rangkaian amalan itu tanpa adanya uzur syar’i, ia berdosa,” ujar dia.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement