REPUBLIKA.CO.ID, Saat prosesi wukuf jamaah haji dilaksanakan di Padang Arafah, umat Islam di seluruh dunia disunahkan untuk berpuasa. Puasa pada awal bulan Dzulhijah ini sering dinamakan puasa Arafah. Penamaan ini mengingat kesamaan waktunya dengan wukufnya jamaah haji di Padang Arafah, yakni 9 Dzulhijjah.
Mereka yang tidak wukuf di Arafah juga bisa mendapatkan keutamaan pahala di sisi Allah dengan berpuasa. Dalam hadis diterangkan, "Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hambanya dibanding Hari Arafah." (HR Muslim).
Nabi SAW dalam hadisnya secara tersirat mengungkapkan, puasa Arafah hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berangkat haji. Adapun yang tengah melak sanakan haji, dilarang untuk berpuasa. Hal ini berdalil dari hadis, "Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah bagi yang sedang di Arafah." (HR Abu Daud, Ibnu Majah Ahmad, dan Nasa’i). Meski demikian, beberapa imam mazhab ada yang hanya memakruhkannya.
Imam Syafi’i mengatakan, puasa Arafah merupakan hadiah bagi mereka yang tidak be rang kat haji. Mereka tetap dapat beribadah dan ber-taqarrub kepada Allah dengan ber puasa. Adapun mereka yang sedang dalam prosesi haji, tidak diperbolehkan berpuasa. Alasannya, agar jamaah haji memiliki kondisi fisik yang prima dalam melaksanakan haji.
Prosesi haji sangat menuntut kondisi fisik yang baik. Dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina, semuanya menuntut fi sik yang baik untuk berjalan kaki. Dikhawatirkan akan melemahkan fi sik dan menganggu prosesi haji jika jamaah haji ikut pula berpuasa. Bahkan, Rasulullah dan para sahabat tidak berpuasa ketika melaksanakan haji.
Ganjaran puasa Arafah sangatlah besar. Nabi SAW menerangkan, mereka yang berpuasa Arafah dapat meng hapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun ke depan. Rasulullah SAW bersabda, "Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesu dahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya. (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizi).
Namun, para ulama berselisih pendapat tentang dosa yang diampuni dalam dua tahun tersebut. Mayoritas ulama mengatakan, dosa yang diampuni hanyalah dosa-dosa kecil sa ja. Sementara untuk dosa besar, diharuskan bertobat nasuha kepada Allah SWT. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan, "Jika bukan dosa kecil yang diampuni, semoga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, semoga ditinggikan derajat."
Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa berpendapat, tidak hanya dosa kecil saja yang diampuni, tetapi dosa besar juga bisa terampuni. Ia berdalil, karena lafaz dari hadis ini bersifat umum.
Amal shaleh pada Dzulhijjah...