REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun ke-10 sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah atau dua tahun setelah Fathu Makkah, kaum Muslimin bergerak menuju Padang Arafah. Nabi dan kaumnya kemudian tiba di Namirah, sebuah desa sebelah timur Arafah. Rasulullah SAW hendak melaksanakan ibadah haji perpisahan dalam hidupnya, haji wada'.
Dilansir dari laman Kemenag, Amin Duwaidar dalam buku Suwar Min Hayah ar-Rasul sebagaimana dinukil Mohammad Natsir dalam Fiqhud Dakwah (1977) melukiskan peristiwa Haji Wada’ sebagai berikut:
“Pagi hari, sesudah shalat Subuh, berangkatlah Rasulullah Saw dari Mina menuju ke Padang Arafah. Rasulullah Saw menunggang unta beliau, Alqashwa, diiringi oleh ribuan umat yang sama-sama melakukan ibadah haji. Sambil berjalan, mereka bertakbir dengan suara bergelombang, berirama, bersahut-sahutan dan menyerukan talbiyah (terjemahannya): ‘Inilah kami, ya Tuhan kami, inilah kami, memenuhi panggilan dan perintah-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, dan nikmat, adalah bagi-Mu, dan Engkaulah yang menguasai segala sesuatu. Tidak ada yang menyekutui kekuasaan-Mu….!’
Sesampai di tengah-tengah lembah Arafah, Rasulullah menghentikan untanya di suatu tempat yang ketinggian. Di dekatnya berdiri Rabi’ah bin Umayah bin Khalaf, yang mempunyai suara keras dan lantang. Rabi'ah ditugaskan untuk menyambung suara Rasul, agar jelas terdengar oleh umat yang banyak berhimpun di situ. Rasulullah tetap duduk di atas untanya agar dapat kelihatan oleh orang banyak. Didahuluinya khutbah yang terkenal sebagai Khutbatul Wada’, khutbah perpisahan itu, dengan puji serta syukur kepada Allah Swt.”