REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perdamaian dan kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan segenap umat manusia. Hal tersebut ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; bahwasanya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pembukaan UUD 45 juga memandatkan bahwa salah satu tugas negara Indonesia adalah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Begitu juga Piagam PBB (UN Charter menyatakan bahwa tatanan dunia dibangun di atas keyakinan terhadap hak asasi manusia yang mendasar, terhadap martabat dan nilai pribadi manusia, terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dan negara-negara besar dan kecil, kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar, nilai toleransi dan hidup bersama secara damai satu sama lain sebagai tetangga yang baik, dan penjagaan atas perdamaian dan keamanan internasional serta prinsip bahwa kekuatan bersenjata tidak boleh digunakan kecuali demi kepentingan bersama dan memelihara perdamaian.
Untuk mendukung tugas pemerintah dan negara Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia maka Lembaga Misi Indonesia untuk Perdamaian Dunia (Minda) didirikan.
Pada Sabtu, 15 Juni 2024 di Depok, diselenggarakan grand launching lembaga berbentuk perkumpulan ini dengan tema "Sejengkal Lebih Dekat Menyongsong Kemerdekaan Palestina: Perjuangan Melalui Pintu Advokasi".
Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D, Direktur Eksekutif Minda dalam sambutannya mengatakan bahwa visi MINDA adalah mendukung dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan di Indonesia dan di dunia melalui advokasi, aktivisme dan kampanye-kampanye hukum, serta HAM dan kemanusiaan yang anti kekerasan dan sesuai koridor perundang-undangan nasional dan hukum internasional.
Menurut Heru, Minda terbentuk pada 22 Maret 2024 dan sudah melakukan beberapa kegiatan seperti diskusi dan mimbar bebas tentang Palestina. Heru juga menegaskan bahwa MINDA tidak hanya bekerja untuk Palestina tetapi juga untuk ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan kejahatan yang terjadi di seluruh dunia, lewat keterangan tertulis kepada Republika.
Sementara itu, Dr. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, dalam sambutannya mengapresiasi kehadiran Minda sebagai terobosan penting. Menurut tokoh yang pernah menjadi Ketua MPR RI ini, belum banyak pembelaan dan advokasi formal terkait hukum untuk Palestina di Indonesia. Sudah begitu banyak pelanggaran HAM di Palestina, pembunuhan dan pembantaian terhadap anak dan wanita, tapi belum banyak terdengar suara dan pembelaan, misalnya dari aktivis HAM dan perempuan/feminis.
Ziyad Boumakhla Tur, Wakil Sekretaris Jenderal Global Coallition for Al-Quds and Palestine (Koalisi Internasional Bela Al-Quds dan Palestina) yang juga hadir menyampaikan apresiasinya atas kehadiran Minda yang berfokus pada advokasi hukum. Ziyad mengatakan bahwa yang dihadapi dunia saat ini adalah bangsa yang tidak memahami bahasa manusia. Semua sudah tidak dipedulikan. Oleh karena itu, dunia perlu melakukan aksi-aksi yang lebih massif untuk mengantisipasi hal-hal yang jauh lebih buruk yang akan dilakukan Israel. Ziyad juga berpesan agar Minda lebih meluaskan pengaruhnya secara internasional.
Grand Launching Minda juga diramaikan dengan diskusi panel bertema "Peran dan dampak nyata advokasi global dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina". Diskusi panel diisi oleh delapan narasumber dari berbagai lembaga/gerakan, yakni Prof. M. Lutfi Zuhdi, Lc., M.A, Ph.D (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana UI), M. Syauqi Hafidz (Koordinator Gerakan BDS Indonesia), Maimon Herawati (Dosen Fikom Unpad yang juga aktivis Palestina), Arif H. Haryono (Aktivis Dompet Dhuafa), Shofwan Al Banna , Ph.D. (Pakar Hubunga Internasional UI), Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia), Erlangga Gresshinov, dan Dr. Saiful Bahri (Wakil Direktur Minda).
Seharusnya Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhari Al Shun dan Presiden Nuraa Women's Institute, Nurhayati Ali Assegaf juga hadir namun berhalangan pada saat-saat terakhir. Minda juga melayangkan undangan pada Kemenlu.
Diskusi panel dengan banyak narasumber tersebut benar-benar memberi banyak wawasan terkait advokasi yang telah dilakukan berbagai lembaga untuk kemerdekaan Palestina.
Minda sendiri dalam aktivitas advokasi untuk Palestina telah menyelenggarakan beberapa kegiatan seperti seminar internasional tentang peran Indonesia menghadirkan perdamaikan di bumi Palestina dengan pembicara seperti Dr. Lex Takkenberg, mantan pemimpin etika UNRWA pada April 2024. Minda juga melakukan riset tentang pemberitan Palestina di media massa Indonesia dan kunjung tokoh wakil rakyat Indonesia tentang Palestina.