REPUBLIKA.CO.ID, Dua juta lebih jamaah haji tengah berkumpul untuk melaksanakan wukuf di padang Arafah pada 9 Dzulhijjah 1445 H/15 Juni 2024 ini. Pakaian ihram yang dapat membangun kesadaran untuk mengubur semua emblem pakaian artifisial dari warna kulit, etnis, pangkat, kekayaan, kedudukan, hingga keturunan.
Allah tak akan melihat semua hal-hal yang hina itu. Di sini terlihat doktrin yang kerap kita dengar dalam Alquran. "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Kain ihram ini menyadarkan seorang Eropa yang berganti nama sebagai Abdusyukur mengenai betapa indah perspektif manusia dalam Islam. Dikutip dari buku karya Henri Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam (1482-1964), lelaki ini berkenalan dengan seorang kiai asal Jawa yang juga memiliki nama depan Abdul, yakni Abdussalam. Takdir mempertemukan mereka saat pergi haji pada 9 Dzulhijah 1366 Hijriyah atau 1947 Masehi silam.
Abdusyukur berkisah, sudah lama dia berkelana mencari Tuhan. Dia mendalami berbagai agama yang tak juga memuaskan hatinya. Pada satu waktu, dia tengah berjalan-jalan di Kota Paris yang terkenal indah itu. Dia pun mendengar suara azan. Dengan suara itu, bagai ada perintah halus ke dalam hatinya untuk men jadi orang Islam. Dia menjum pai imam masjid itu. Di tangannyalah lelaki itu menjadi seorang mualaf hingga dapat naik haji.
Pada awal abad ke-19, Islam bukan hal baru di Eropa, terma suk Prancis. Setelah Perang Dunia I, sebuah masjid raya didirikan di Paris sebagai rasa terima kasih kepada tirailleurs Muslim, sebutan bagi pasukan infantri Prancis pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa.
Mereka direkrut dari wilayah-wilayah jajahan Prancis, salah satunya Aljazair. Negeri nenek moyang pelatih Real Madrid dan bekas pemain sepak bola terbaik dunia Zinedine Zidane. Lewat masjid, pemerintah hendak memberi penghargaan kepada para 100 ribu tirailleurs yang tewas saat bertempur melawan Jerman.
Pada 1944, tercatat ada 550 ribu tentara Afrika-Prancis. Banyak di antara mereka direkrut, baik terpaksa maupun sukarela, dari koloni-koloni Prancis. Mereka berasal dari Aljazair, Maroko, Tunisia, dan negaranegara koloni Prancis lain di Afrika. Selain bertempur pada Perang Dunia I, tentara multiras itu diterjunkan dalam pertempuran di Italia pada 1943 untuk mengusir Jerman dari Monte Cassino.
Untuk menghormati mereka, Prancis membangun masjid itu pada 1926. Selama Perang Dunia II, saat Prancis dicaplok Nazi, Jerman, Imam Masjid Si Kaddour Benghabrit pernah menjadikan masjid itu sebagai tempat untuk melindungi pengungsi Aljazair dan Yahudi Eropa. Benghabrit menjamin akan menyediakan kamar perjalanan yang aman hingga sertifikat kelahiran Muslim palsu untuk melindungi mereka dari eksekusi Jerman. Meski demikian, Prancis tetaplah Prancis. Negara yang trauma dengan adanya kekuasaan di tangan kaum borjuis dan pemuka agama.
Revolusi Prancis pada 1789 menghancurkan dominasi Gereja Katolik. Hingga sekarang, Prancis memberi contoh kepada banyak negara demokrasi di Eropa tentang praktik pemisahan kekuasaan antara agama dan negara alias sekularisme. Namun, sekularisme di negeri Menara Eifel tak berarti menutup hidayah bagi pencari Tuhan, seperti Abdusyukur.
Saat menjalankan wukuf di Arafah, Abdusyukur melihat ratusan ribu Muslim dibalut pakaian putih. Suara-suara zikir manusia bergema dari bukit tandus itu. Mereka menengadahkan tangan untuk menjadi sebenar-benarnya hamba. "Benar saudara, katanya. Biar saya tak mempunyai kapal udara, tidak punya mobil, tidak punya gedung yang permai, dengan kurnia-Nya saya menjadi umat Islam ini, sudah lebih dari dunia dengan isinya."