REPUBLIKA.CO.ID, BARI -- Pemimpin-pemimpin G7 mendesak negara-negara kaya seperti China dan Arab Saudi membayar upaya penanggulangan perubahan iklim. Setelah negosiasi perubahan iklim PBB di Bonn, Jerman, gagal mencapai kesepakatan untuk target pendanaan baru dalam membantu negara miskin menghadapi pemanasan global.
Desakan yang disampaikan dalam pertemuan di Italia tampaknya akan membawa negara-negara anggota G7 yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, dan Italia berbenturan dengan negara-negara seperti China, Arab Saudi, dan India yang berpendapat negara maju harus membayar lebih banyak atas dampak emisi.
Pertemuan di Bonn yang digelar selama dua pekan dan dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negara berakhir pada Kamis (13/6/2024). Pertemuan itu diwarnai perbedaan pendapat dan posisi. Serta hanya menghasilkan sedikit kemajuan untuk meraih kesepakatan baru.
Tekanan penanggulangan perubahan iklim kini berada di pundak pemimpin-pemimpin G7. PBB sudah mengubah target 100 miliar dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara miskin mengatasi perubahan pada pertemuan iklim PBB (COP29) berikutnya di Baku, Azerbaijan, pada November mendatang.
Dalam pernyataan bersama, tampaknya negara-negara G7 sepakat mereka membutuhkan lebih banyak dana untuk membantu negara miskin. Tapi mereka juga meminta negara-negara yang diklasifikasikan sebagai negara berkembang tapi memiliki perekonomian besar untuk turut berkontribusi.
"Kami menekankan negara-negara G7 berniat menjadi kontributor utama untuk mencapai tujuan (pendanaan iklim) dan menggarisbawahi pentingnya menyertakan negara-negara yang mampu berkontribusi dalam setiap mobilisasi pendanaan publik internasional," kata rancangan komunike G7 seperti dikutip dari Financial Times, Sabtu (15/6/2024).
Target 100 miliar dolar AS per tahun ditetapkan satu dekade yang lalu. OECD mengatakan target itu tercapai pada 2022, terlambat dua tahun setelah diklasifikasikan ulang sebagai utang.
Dalam rancangan komunike itu negara-negara G7 mengatakan tujuan baru ini akan menjadi "kesempatan unik untuk memperkuat lanskap pendanaan iklim internasional dalam dekade yang sangat penting ini untuk menjaga agar target 1,5 tetap dalam jangkauan".
Mereka mengacu pada Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global setidaknya 1,5 derajat Celsius dari masa pra industri. Diskusi di Bonn penuh dengan perdebatan karena negara-negara berkembang berpendapat negara maju, yang secara historis menyebabkan emisi terbesar, harus bertanggung jawab secara finansial atas kerusakan akibat perubahan iklim.
Negara-negara Barat yang lebih kaya berpendapat negara-negara berkembang yang lebih kaya, termasuk China, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, India, dan Brasil, juga harus berkontribusi terhadap dana global untuk mengatasi perubahan iklim.