Senin 17 Jun 2024 20:27 WIB

Ini Alasan Indonesia tak Tanda Tangani Komunike KTT Perdamaian Ukraina

Kemlu RI menilai konflik Rusia-Ukraina harus selesai lewat usaha semua pihak.

Rusia menuduh sekutu Ukraina membantu merencanakan dan melakukan serangan rudal terhadap markas besar Armada Laut Hitam Rusia di Semenanjung Krimea
Foto: AP
Rusia menuduh sekutu Ukraina membantu merencanakan dan melakukan serangan rudal terhadap markas besar Armada Laut Hitam Rusia di Semenanjung Krimea

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menilai bahwa konflik antara Ukraina dan Rusia hendaknya diselesaikan melalui kesepakatan dan negosiasi yang melibatkan seluruh pihak dalam konflik. Demikian menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.

Hal tersebut disampaikan Juru Bicara II Kemlu RI Rolliansyah Sumirat untuk menjelaskan keputusan Indonesia tidak ikut menandatangani komunike bersama dari konferensi tingkat tinggi (KTT) perdamaian di Ukraina baru-baru ini.

Baca Juga

“Indonesia menilai bahwa Komunike Bersama akan lebih efektif bila disusun secara inklusif dan berimbang,” demikian menurut Roy dalam pernyataan singkatnya yang diterima di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan, pendirian itu merupakan pandangan utama Indonesia mengenai penyelesaian konflik antara Ukraina dan Rusia yang diusahakan melalui KTT itu.

Konferensi yang berlangsung pada 15—16 Juni di Burgenstock, Swiss itu diikuti lebih dari 90 negara, termasuk Ukraina. Namun, Rusia tidak menghadiri acara tersebut.

Walau demikian, pelaksanaan KTT perdamaian tersebut tetap selaras dengan posisi Indonesia bahwa sengketa dan konflik antar negara harus diselesaikan melalui jalan diplomasi, seperti perundingan.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pun telah menunjuk Duta Besar RI untuk Swiss Ngurah Swajaya hadir sebagai Utusan Khusus dalam pertemuan tersebut. “Kehadiran Utusan Khusus RI mencerminkan komitmen kuat Indonesia terhadap penegakan hukum internasional dan Piagam PBB,” ucap Roy.

Roy mengatakan bahwa dalam agenda tersebut, Indonesia juga telah menegaskan pandangannya terkait pentingnya menegakkan hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan dan Piagam PBB, tidak hanya di Ukraina namun juga di Jalur Gaza yang saat ini masih terus digempur Israel.

KTT perdamaian di Ukraina tersebut diikuti oleh lebih dari 90 negara, namun komunike bersama yang dihasilkan dalam agenda tersebut didukung oleh hanya 80 negara dan empat organisasi internasional.

Sebanyak 16 negara dan organisasi, termasuk Indonesia, Libya, Arab Saudi, Thailand, India, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil, dan Uni Emirat Arab memutuskan untuk abstain dalam komunike tersebut.

Komunike bersama tersebut mencakup tiga topik yang akan diupayakan oleh negara-negara. Pertama, setiap penggunaan energi nuklir dan instalasi nuklir harus aman, terlindungi, dan ramah lingkungan.

Kedua, ketahanan pangan tidak boleh dipersenjatai dengan cara apa pun. Serangan terhadap kapal dagang di pelabuhan dan di sepanjang rute, serta terhadap pelabuhan sipil dan infrastruktur pelabuhan sipil, tidak dapat diterima.

Ketiga, semua tawanan perang harus dibebaskan melalui pertukaran penuh. Semua anak-anak Ukraina yang dideportasi dan dipindahkan secara tidak sah, serta semua warga sipil Ukraina lainnya yang ditahan secara tidak sah, harus dikembalikan ke Ukraina.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement