Selasa 18 Jun 2024 14:30 WIB

Lautan Kehilangan Dua Persen Oksigen, Apa Dampaknya?

Deoksigenasi di Pesisir Teluk Texas pada 2023 menewaskan ribuan ikan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Wisatawan asing didampingi pegiat Wakatobi Dive Trip menyelam di bawah laut spot fan 38 Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (18/5/2023).
Foto: Antara/Jojon
Wisatawan asing didampingi pegiat Wakatobi Dive Trip menyelam di bawah laut spot fan 38 Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (18/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco) melaporkan selama beberapa dekade terakhir, tingkat oksigen di seluruh dunia menurun. Fenomena ini mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Laporan tersebut juga mengungkapkan terdapat ratusan "zona mati" atau wilayah maritim yang kehilangan seluruh biota laut karena turunnya atau hilangnya oksigen. Dikutip dari Nature World News, Selasa (18/6/2024) aktivitas manusia merupakan kontributor utama ancaman terhadap lingkungan dan ekosistem ini.

Baca Juga

Laporan berdasarkan penelitian sejumlah ilmuwan ini merupakan tambahan dari laporan sebelumnya mengenai ancaman lain terhadap laut seperti pengasaman, polusi, dan perubahan iklim. Namun, turunnya tingkat oksigen di laut merupakan masalah yang lebih besar.

Penurunan tingkat oksigen di laut dapat meningkatkan tingkat kematian biota laut, mulai dari ikan kecil sampai mamalia laut besar. Oksigen merupakan unsur kimia yang penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme hidup aerobik, termasuk sebagian besar hewan darat dan laut.

Setelah bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, sebagian besar makhluk hidup bersifat anaerobik, yaitu organisme yang dapat hidup tanpa oksigen. Hingga Peristiwa Oksidasi Besar lebih dari 2 miliar tahun yang lalu memberikan peluang bagi organisme penghirup oksigen untuk berevolusi.

Dalam laporan terbarunya pekan lalu, Unesco menyebut bahwa sejak 1960-an bumi kehilangan 2 persen oksigen laut dan ditemukan lebih dari 500 zona mati di sekitar daerah pesisir di seluruh dunia. Unesco juga menyoroti peristiwa deoksigenasi pada awal Juni ini, memperparah fenomena lain yang merusak lingkungan seperti kenaikan permukaan laut, pemanasan laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Dalam siaran pers sebelumnya, Direktur Jenderal Unesco Audrey Azoulay meminta negara anggota Perjanjian Iklim Paris untuk mengambil tindakan untuk memulihkan kehidupan laut selain menjaga keanekaragaman hayati. Pernyataan ini disampaikan usai ilmuwan mengonirmasi penurunan tingkat oksigen mencekik spesies di daerah pesisir. Para peneliti juga mengatakan penurunan tingkat oksigen disebabkan pemanasan global dan polusi, termasuk limbah pertanian dan limbah air.

Penurunan tingkat oksigen berdampak pada berbagai spesies dan habitat alami dan ekosistemnya. Berdasarkan penelitian, ketidakseimbangan kadar oksigen atau deoksigenasi juga dapat menghambat pertumbuhan, mengubah perilaku dan meningkatkan kematian biota laut.

Deoksigenasi yang dilaporkan terjadi di Pesisir Teluk Texas pada 2023 menewaskan ribuan ikan. Polutan organik juga menyebabkan deoksigenasi.

Karena aktivitas mikroba yang tinggi, polutan di dalam air juga melepaskan amonia dan nutrisi mineral lainnya. Artinya, kombinasi faktor alam di tengah krisis iklim dan aktivitas industri manusia yang menyebabkan polusi dapat mempercepat laju deoksigenasi saat ini.

Ilmuwan memprediksi bila tidak ada langkah konkret yang dilakukan terutama berdasarkan Perjanjian Paris 2015, maka tren penurunan tingkat oksigen di laut ini akan berlanjut. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement