REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para habaib sudah sejak lama mewarnai perpolitikan di Indonesia. Tak jarang juga, golongan itu coba dipengaruhi mereka-mereka yang memegang kekuasaan. Berikut tulisan wartawan Republika sepanjang zaman, Alwi Shahab, semoga Allah merahmatinya, terkait fenomena tersebut:
Bicara soal Pemilu 1977 sukar tak menyinggung bagaimana gencarnya Golkar mengupayakan pemenangan saat itu. Kendati parpol-parpol sudah disederhanakan atau justru karena parpol-parpol sudah disederhanakan, cara yang digunakan Golkar untuk memenangi pesta demokrasi semakin “kreatif.”
Saya ingat, zaman itu sudah banyak majelis taklim yang mengemuka di Jakarta. Pimpinan mereka biasanya para habib. Nah, karena Jakarta saat itu, barangkali sampai sekarang, cenderung ke partai Islam, para tokoh pimpinan majelis taklim tersebutlah yang didekati.
Aliran dana mengucur deras ke majelis-majelis taklim yang berhasil dirangkul Golkar. Menjelang pemilu, pendanaan juga meningkat. Para pimpinan majelis taklim yang sudah direngkuh Golkar biasanya tak malu-malu mengampanyekan Golkar di sela-sela acara dakwah.
Mereka terang-terangan mendorong jamaah untuk memilih Golkar dalam pemilihan umum mendatang. Dari situ, muncul istilah “habib Golkar”. Dampak buruknya, tak jarang majelis taklim yang sudah diketahui berafiliasi dengan Golkar menjadi berkurang pengikutnya.
Termasuk, habib-habib juga didekati Golkar. Mereka juga mendapat pendanaan dari Golkar, terutama menjelang pemilu. Golkar termasuk kencang sekali berupaya mendekati majelis taklim. Target Golkar waktu itu memang menguningkan Jakarta. Sampai, ada istilah “habib Golkar” karena ketika ceramah mereka selalu mendorong para jamaah untuk memilih Golkar.
Yang juga dirangkul Golkar adalah kalangan wartawan. Saya ingat, kerap diajak rapat di markas Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Dalam rapat-rapat seperti itu, biasanya hadir juga pimpinan-pimpinan dari berbagai media. Saat itu, para wartawan diarahkan untuk membuat pemberitaan yang bisa mendorong masyarakat memilih Golkar. Di sisi lain, media yang memberitakan keburukan pemerintah yang dijalankan kader Golkar atau mengangkat parpol selain Golkar, bisa kena damprat.
Pada Pemilu 1971 penduduk yang dibayar untuk memilih partai tertentu saat pemilu sudah mulai tampak, walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lain cerita pada Pemilu 1977.
Saat itu, hal tersebut dilakukan terang-terangan. Oknum tim kampanye Golkar menyambangi masyarakat dan membagi-bagikan uang sebelum pemilihan umum. Yang juga membedakan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sebagian acara bagi-bagi uang atau kebutuhan pokok dilakukan pada pagi-pagi sekali pada hari pemungutan suara. Dari situlah mulai muncul istilah “serangan fajar”.
Tak berhenti di situ saja, sudah mafhum kala itu bahwa pegawai negeri-pegawai negeri diwajibkan memilih Golkar. Yang baru pada 1977 adalah departemen atau kementerian semakin aktif dalam upaya memenangkan Golkar. Masing-masing lembaga bahkan membentuk tim pemenangan Golkar.
Para kepala daerah juga otomatis mesti melakukan upaya pemenangan Golkar. Saya pernah mengikuti kampanye Golkar di Yogyakarta dan Jawa Tengah saat itu. Dalam kampanye tersebut, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX kerap menjadi jurkam Golkar. Ia biasanya meminta peserta kampanye Golkar memilih partai bersangkutan dan ditutup dengan kata-kata khas, “Ojo lali ya! Ojo lali!”
Setahu saya, saat itu Golkar juga menyusupkan orang-orang dalam jajaran pimpinan parpol lain, yakni PPP dan PDI. Mereka biasanya bertugas memperhalus serangan partai-partai bersangkutan terhadap pemerintahan.
Dengan aneka upaya tersebut, tak heran Golkar memenangi pemilu secara signifikan. Golkar berhasil mengumpulkan 62 persen suara berbanding PPP yang memperoleh 29 persen dan PDI yang mendapat 8,6 persen. Hanya dua daerah, DKI Jakarta dan Aceh, yang mayoritas pemilihnya mencoblos PPP.
Sejarah keturunan Arab di Indonesia... baca halaman selanjutnya