Rabu 19 Jun 2024 14:49 WIB

Bakteri Pemakan Daging Mewabah di Jepang, Pasien Bisa Meninggal dalam 48 Jam

Kasus bakteri pemakan daging mencapai 977 kasus per 2 Juni 2024 di Jepang.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Bakteri (ilustrasi). Hampir 1.000 kasus infeksi bakteri pemakan daging yang mematikan menyebar dengan cepat di seluruh Jepang.
Foto: pixabay
Bakteri (ilustrasi). Hampir 1.000 kasus infeksi bakteri pemakan daging yang mematikan menyebar dengan cepat di seluruh Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir 1.000 kasus infeksi bakteri pemakan daging yang mematikan menyebar dengan cepat di seluruh Jepang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat kesehatan. Penyakit yang dikenal sebagai Streptococcal toxic shock syndrome (STSS) ini menyebabkan penyakit yang parah dan berakibat fatal dalam waktu yang sangat singkat.

Kasus STSS telah melonjak, mencapai 977 kasus per tanggal 2 Juni 2024. Angka ini telah melampaui total 941 kasus tahun lalu, menurut Institut Nasional Penyakit Menular.

Baca Juga

"Sebagian besar kematian terjadi dalam waktu 48 jam,” kata Ken Kikuchi, seorang profesor di bidang penyakit menular di Tokyo Women's Medical University. Dia menyoroti perkembangan penyakit yang cepat, mencatat bahwa pasien dapat meninggal dalam waktu 48 jam setelah melihat gejala awal.

Lantas apakah itu STSS? Dilansir Economic Times, Rabu (19/6/2024) STSS adalah penyakit parah yang disebabkan oleh infeksi bakteri group A Streptococcus (GAS). Bakteri penyebab infeksi ini disebut “pemakan daging” karena menyebabkan nekrosis pada anggota tubuh dan kegagalan multi-organ, yang dapat mengancam jiwa jika tidak segera ditangani.

Gejala awal STSS meliputi demam, menggigil, nyeri otot, dan mual. Seiring dengan perkembangan penyakit, gejala yang lebih parah seperti tekanan darah rendah, denyut jantung yang cepat, dan kegagalan organ dapat terjadi. Pengobatannya melibatkan antibiotik intravena dosis tinggi dan perawatan suportif.

Para ahli kesehatan juga telah merilis langkah-langkah pencegahan STSS, meliputi praktik kebersihan yang baik, pengobatan infeksi Streptococcus yang cepat, dan pemantauan ketat terhadap luka dan infeksi kulit. Edukasi kesehatan masyarakat mengenai gejala dan risiko yang terkait dengan infeksi bakteri group A Streptococcus juga sangat penting untuk deteksi dini dan pengobatan.

Menurut Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), orang dengan luka terbuka memiliki risiko lebih tinggi terkena STSS. Ini termasuk orang yang baru saja menjalani operasi atau infeksi virus yang menyebabkan luka terbuka. Namun, para ahli tidak tahu bagaimana bakteri masuk ke dalam tubuh hampir setengah dari orang yang terkena STSS.

Negara-negara lain juga pernah mengalami wabah serupa. Pada akhir tahun 2022, setidaknya lima negara Eropa melaporkan peningkatan kasus penyakit streptokokus grup A invasif (iGAS) kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO mencatat bahwa peningkatan kasus tersebut berkorelasi dengan pencabutan pembatasan Covid-19.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement