Kamis 20 Jun 2024 03:45 WIB

Akuisisi Bank Victoria Syariah oleh BTN Dikritik, Ini Alasannya

Merger Bank Muamalat dan BTN Syariah berpotensi menghasilkan kinerja yang lebih baik.

Rep: Frederikus Bata, Dian fath risalah / Red: Gita Amanda
Isu merger BTN dan Bank Muamalat masih bergulir di tengah masyarakat. (ilustrasi)
Foto: Dok. BTN
Isu merger BTN dan Bank Muamalat masih bergulir di tengah masyarakat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ekonomi Syariah Yusuf Wibisono menyambut baik rencana BTN untuk spin-off Unit Usaha Syariah (UUS), dengan cara mengakuisisi bank lain. Namun rencana BTN mengakuisisi Bank Victoria Syariah menurut Yusuf sangat disayangkan.

BTN awalnya melakukan uji tuntas guna mengakuisisi Bank Muamalat. Namun ketika uji tuntas Muamalat ini belum menghasilkan kesimpulan akhir, beredar kabar BTN mengalihkan radarnya ke Bank Victoria Syariah (BVS). "Kita menyayangkan jika bank yang akan diakuisisi BTN adalah Bank Victoria Syariah, untuk dua alasan," kata Yusuf, kepada Republika, Rabu (19/6/2024).

Baca Juga

Pertama, menurutnya, penggabungan BTN Syariah dan BVS tidak akan menambah market share industri perbankan syariah nasional. Itu karena keduanya adalah bank syariah, maka menggabungkan keduanya tidak akan memberi dampak pada market share industri yang kini baru di kisaran 7,4 persen. Kedua, penggabungan BTN Syariah dan Bank Victoria Syariah tidak akan mampu melahirkan bank syariah yang cukup besar untuk menjadi pesaing BSI. 

"Dengan aset masing-masing Rp 55 triliun dan Rp 3 triliun, maka penggabungan BTN Syariah dan Bank Victoria Syariah hanya akan menghasilkan bank syariah dengan ukuran Rp 58 triliun, sangat jauh dari aset BSI yang Rp 358 triliun," ujar Yusuf.

Untuk dua alasan di atas, dalam skenario ideal, ia berharap BTN mengakuisisi bank konvensional dengan ukuran aset yang cukup besar. Dengan demikian dari spin-off BTN Syariah ini, pangsa pasar perbankan syariah nasional akan meningkat dan sekaligus menghasilkan bank syariah besar yang menjadi pesaing BSI. Lalu fokus bisnisnya pada pembiayaan perumahan rakyat. 

Yusuf menerangkan, POJK No. 12/2023 mengatur bahwa UUS wajib spin-off ketika asetnya telah mencapai 50 persen dari aset induk atau minimal aset mencapai Rp 50 triliun. Ketika syarat terpenuhi, UUS wajib spin-off paling lambat dua tahun kemudian. Dengan POJK No. 12/2023 ini maka UUS besar seperti CIMB Niaga Syariah dan BTN Syariah harus spin-off dalam beberapa tahun ke depan. 

Pada kuartal I 2024, aset UUS BTN ada di kisaran Rp 55 triliun. Ia berharap agar spin-off BTN Syariah ini selain menghasilkan pesaing BSI, juga meningkatkan market share industri perbankan syariah. Jika spin-off diserahkan sepenuhnya ke industri, maka pelaku pasar akan cenderung memilih opsi yang paling efisien, mudah dan cepat dilakukan.

"Antara lain mengakuisisi bank yang sudah memiliki rekam jejak dalam industri perbankan syariah, seperti BTN Syariah yang kini mengincar Bank Victoria Syariah. Dengan arah seperti ini, spin-off hanya sekadar membawa pada konsolidasi industri perbankan syariah saja," ujar Yusuf.

Ia ingin persaingan di industri perbankan syariah menjadi lebih sehat. Saat ini, jelas dia industri perbankan syariah sangat timpang di mana BSI menjadi satu-satunya pemain yang sangat dominan, yaitu aset pada kuartal I 2024 menembus Rp 358 triliun. BSI menguasai sekitar 40 persen market share perbankan syariah nasional. 

Pesaing terdekat-nya adalah Bank Muamalat dan CIMB Niaga Syariah dengan aset masing-masing hanya di kisaran Rp 65 triliun. Selayaknya BSI memiliki tiga hingga empat pesaing yang sepadan agar industri perbankan syariah nasional lebih sehat. Kasus lumpuhnya layanan BSI yang membuat konsumen perbankan syariah nasional mengalami kerugian sangat besar, harus menjadi pelajaran berharga. 

Yusuf berharap spin-off UUS BTN menjadi BUS baru dilakukan dengan cara terbaik, yaitu meningkatkan market share industri perbankan syariah, dan sekaligus menghasilkan pesaing BSI yang sepadan. Dengan agenda besar ini, maka terdapat beberapa skenario untuk spin-off UUS BTN ini.

Skenario ideal

Pertama, dalam skenario paling ideal, pemerintah mengkonversi BTN sebagai induk BTN Syariah menjadi bank syariah dan BTN syariah kemudian bergabung ke induk-nya sendiri yang kini telah mengkonversi dirinya menjadi bank syariah. Dengan aset BTN di kisaran Rp 454 triliun, skenario ideal ini akan menghasilkan bank pesaing BSI yang sangat kredibel sekaligus melonjakkan market share perbankan syariah menembus 10 persen.

"Skenario kedua adalah BTN mengakuisisi bank konvensional dengan ukuran aset yang cukup besar, katakan Rp 75 triliun, maka market share perbankan syariah akan segera menembus 8,0 persen sekaligus menghasilkan bank syariah pesaing BSI dengan aset di kisaran Rp 130 triliun," ujar Yusuf.

Skenario ketiga, yaitu skenario paling minimal, yaitu BTN mengakuisisi Bank Muamalat dan kemudian menggabungkan nya dengan BTN Syariah. Meski skenario ini kurang ideal, karena menggabungkan sesama bank syariah tidak akan berdampak pada market share perbankan syariah,  sebagaimana  kasus merger tiga bank BUMN Syariah menjadi BSI pada 2021. Namun setidaknya, berpotensi mendapatkan bank syariah baru dengan ukuran yang cukup besar. Penggabungan Bank Muamalat dan BTN Syariah akan menghasilkan bank syariah baru dengan aset di kisaran Rp 120 triliun. 

Lebih jauh, merger Bank Muamalat dan BTN Syariah ini berpotensi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan kasus merger tiga bank BUMN syariah. Itu karena aset Bank Muamalat dan BTN Syariah relatif seimbang, segmen dan ekosistem pasar kedua bank tersebut saling melengkapi. Kinerja BTN Syariah akan banyak terbantu oleh infrastruktur Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama, dan ekspansi Bank Muamalat akan banyak terbantu oleh dukungan dari BTN sebagai induk.

 

OJK belum terima permohonan merger BTN dan Muamalat... (baca di halaman selanjutnya)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement