REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pengaduan kembali kubu staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Kusnadi, ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Kusnadi menyebut mempunyai bukti baru soal pelanggaran etik penyidik KPK di perkara buronan Harun Masiku.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menegaskan anak buahnya mematuhi prosedur yang berlaku dalam melakukan penyitaan. "Penyidik KPK melaksanakan tugas penyidikan dan melakukan penyitaan itu sesuai perintah UU sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, UU KPK, UU ITE, UU Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang undangan lainnya," kata Tanak dalam keterangan pers pada Jumat (21/6/2024).
Tanak menyebut penyitaan barang dapat dilakukan terhadap saksi kalau barang yang diambil dipandang penyidik berhubungan dengan perkara. Upaya paksa tersebut berlaku pula dalam penyitaan ponsel milik Hasto.
Tanak menjamin penyitaan oleh penyidik KPK didasarkan aturan yang berlaku. Tanak membantah kesalahan administrasi atas penyitaan itu. "Sehingga tindakan penyidik KPK melakukan penyitaan HP (handphone) untuk kepentingan penyidikan dalam upaya mengumpulkan bukti, termasuk antara lain alat bukti elektronik adalah suatu tindakan hukum yang sah menurut hukum," ujar Tanak.
Ronny Talapessy selaku kuasa hukum dari Kusnadi staf Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto kembali melaporkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Kamis (20/6/2024).
Ronny mengklaim membawa bukti baru terkait dugaan pelanggaran administrasi penyitaan barang Kusnadi dan Hasto oleh penyidik KPK saat pemeriksaan soal buronan Harun Masiku.
"Hari ini kami melaporkan kepada Dewas untuk kami lampirkan sebagai bukti tambahan bagaimana oknum penyidik KPK ini tidak profesional," kata Ronny di kantor Dewas KPK, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Dalam kesalahan administrasi itu, Ronny menduga adanya pemalsuan surat di dalam proses penyitaan. Sebab, ada dua berita acara penyitaan yang diterbitkan oleh KPK usai penyitaan, yakni surat berita acara tertanggal 23 April dan 10 Juni.
Ronny menjelaskan, di surat penyitaan tertanggal 23 April, Kusnadi membubuhkan tanda tangan. Sedangkan di surat tertanggal 10 Juni tidak ada paraf dari kliennya tersebut.
“Kami menduga telah terjadi Pemalsuan surat, Karena apa? Surat yang sah adalah Surat di mana tanggal 23 April, di mana Saudara Kusnadi Ikut memparaf. Tetapi Kemarin diberikan surat tanggal 10 April. Kami melihat dugaan kami ini direkayasa kembali,” ujar Ronny.
“Sehingga yang lembar pertama ini saudara Kusnadi tidak memparaf, Tetapi di lembar yang kedua saudara kusnadi tanda tangan,” lanjut Ronny.
Berdasarkan kesalahan administrasi dan dugaan pemalsuan surat itu, Ronny menyebut barang-barang yang dirampas oleh Rossa tidak bisa dijadikan bukti dalam penegakan hukum. Sebab, proses penyitaan dilakukan secara salah dan cenderung bernuansa politis yang mengarah pada tindakan kriminalisasi terhadap Hasto.
“Kami melihat, bahwa kasus ini penuh dengan nuansa politis. Dan kami melihat bahwa ada dugaan kriminalisasi terhadap sekjen PDI Perjuangan. Karena proses-proses yang kami sudah ikuti ini adalah proses yang sudah salah di mata hukum,” ujar Ronny.
Dengan temuan bukti itu, Ronny meminta Dewas KPK agar mengusut laporan dugaan pemalsuan surat tersebut. Sebab, kata dia, ada dugaan pelanggaran etik berat dari penyitaan ponsel milik Kusnadi dan Hasto.
“Ini merupakan pelanggaran kode etik berat dan kami memohon kepada Dewas untuk memproses ini dengan cepat. Jadi kembali lagi teman-teman yang perlu kita garis bawahi, karena perolehan barang-barang pribadi dan buku DPP PDI Perjuangan ini tidak melalui proses hukum yang benar, maka ini adalah cacat hukum,” ujar Ronny.
Sebelumnya, tim penyidik KPK sudah mengonfirmasi keberadaan Harun Masiku kepada sejumlah saksi seperti Advokat Simeon Petrus, mahasiswa atas nama Hugo Ganda dan Melita De Grave hingga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto beserta stafnya atas nama Kusnadi.
Harun Masiku diketahui merupakan eks caleg PDIP yang terjerat perkara dugaan suap dalam PAW anggota DPR periode 2019-2024. Harun diduga menyuap Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan agar bisa ditetapkan sebagai anggota DPR. Tapi, sejak OTT terhadap Wahyu dan sejumlah pihak lain pada 8 Januari 2020 hingga saat ini, Harun Masiku masih buron.
Bahkan Wahyu sendiri sudah menghirup udara bebas pasca menuntaskan masa hukuman penjaranya.