Jumat 21 Jun 2024 18:31 WIB

Lebih dari 1.000 Jamaah Meninggal, Panas Ekstrem Jadi Tantangan Berat Ibadah Haji

Orang lanjut usia menjadi kelompok yang paling rentan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Jamaah haji minum saat sedang wukuf di Arafah di tengah cuaca panas.
Foto: Saudi Gazette
Jamaah haji minum saat sedang wukuf di Arafah di tengah cuaca panas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jumlah jamaah haji yang meninggal dunia selama musim ibadah haji tahun ini dilaporkan telah mencapai lebih dari 1.000 orang. Berbagai pihak meyakini tingginya angka kematian ini berkaitan dengan suhu panas yang melanda Arab Saudi. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat suhu panas merenggut nyawa setengah juta orang setiap tahunnya. Tapi angka sebenarnya dapat mencapai 30 kali lebih tinggi.  Tubuh manusia mengatur suhunya sendiri, di angka normal 36,8 derajat Celsius. Ketika suhu udara naik, badan mendingin dengan sendirinya dengan menaikkan peredaran darah ke pembuluh darah dekat kulit, sehingga tubuh mengeluarkan panas dan tubuh tetap dingin.

Baca Juga

"Untuk memastikan fungsi sel, enzim dan organ vital berjalan baik, suhu tubuh harus konstan, apa pun kondisi eksternalnya," kata pakar neurobiologi Pieter Vancamp di badan penelitian Prancis, INREA, seperti dikutip dari Phys.org, Jumat (21/6/2024). 

“Saat beraktivitas fisik di luar ruangan seperti menjalankan ibadah haji, tubuh dapat dengan cepat kelelahan dan tidak bisa lagi menemukan cadangan air yang diperlukan untuk berkeringat," kata Vancamp. 

Panas berlebihan dapat menyebabkan gejala yang lebih serius seperti dehidrasi, ketika organ vital kekurangan cairan. "Tubuh ada batasnya, ketika cuaca terlalu panas atau ketika aktivitas fisik dilakukan di tengah cuaca ekstrem, misalnya, tubuh tidak bisa meregulasi dirinya sendiri," kata Vancamp. 

Orang lanjut usia, bayi, orang dengan masalah kesehatan bawaan dan pekerja luar ruangan menjadi kelompok yang paling rentan. Jumlah kelenjar keringat di tubuh berkurang seiring bertambahnya usia, sehingga kemampuan tubuh untuk mendinginkan diri menjadi berkurang.

“Beberapa faktor menentukan reaksi kita terhadap panas: usia, massa tubuh, aktivitas fisik , gen. Namun ketika panas terlalu kuat, bahkan untuk orang muda, tubuh yang sehat juga dapat kekurangan energi untuk mempertahankan suhu sekitar 37 derajat Celsius," tambahnya. 

WHO memperingatkan panas di malam hari yang paling beresiko menimbulkan masalah kesehatan. Panas di malam hari tidak memberi tubuh kesempatan untuk mendinginkan diri, meningkatkan kemungkinan serangan jantung. 

Dalam laporan The Lancet Countdown tahun lalu menyebutkan, pada tahun 2022 rata-rata orang-orang di seluruh dunia terpapar suhu udara yang mengancam nyawa selama 86 hari. Jurnal medis itu menambahkan jumlah orang berusia di atas 65 tahun yang meninggal karena cuaca panas meningkat sebesar 85 persen antara periode 1991-2000 dan 2013-2022. 

Perubahan iklim yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia meningkatkan gelombang panas dan kejadian cuaca ekstrem lainnya. Data Climate Action Tracker menunjukkan saat ini dunia dalam jalur mencapai 2,7 derajat Celsius lebih panas dari masa pra-industri. 

Lancet Countdown memproyeksikan jika bumi lebih panas 2 derajat Celsius, maka jumlah orang yang meninggal akibat panas pada tahun 2050 akan naik lima kali lipat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement