REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Benarkah kejumudan dunia pemikiran Islam selama ini terpulang sepenuhnya kepada peran Al-Ghazali?
Setelah lama Al-Ghazali dituding sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia pemikiran Islam, orang kini mulai berpikir ulang, cukup adilkah tudingan itu? Rasanya agak berlebihan mengatakan bahwa ''tragedi'' dunia pemikiran Islam itu sepenuhnya akibat ulah tokoh sufi ini.
Betapapun, Al-Ghazali adalah orang pertama di zamannya, yang mengajak kalangan Sunni untuk berpaling pada Logika Aristoteles dalam telaah ilmiah mereka.
Ketika ahli fikih di zamannya menganggap Logika Aristoteles sebagai barang haram dan hina, Al-Ghazali justru mengatakan, ''Siapa yang tidak menguasai logika, ilmunya layak diragukan.'' Dia mengarang tiga buku tentang logika.
Karena itu, faktor keterbelakangan Dunia Islam harus dilihat dari aspek lain, misalnya faktor sosio-kultur.
Al-Ghazali hidup di zaman ketika Dunia Islam kehilangan ciri kosmopolitannya. Saat itu mereka terpecah dalam banyak mazhab, banyak garis kesukuan, kebahasaan, kedaerahan, bahkan ideologi negara.
Dunia Islam saat itu dipenuhi oleh fragmentasi sosial-politik dan alam pikiran yang tidak terkontrol, dibarengi oleh merebaknya penyempitan paham dan kurangnya toleransi sesama Muslim.
Nasionalisme Persia mulai lahir justru ketika Al-Ghazali masih hidup. Sepeninggal Al-Ghazali adalah masa ketika ''tragedi'' sektarianisme itu semakin konkret dipertontonkan, saat Dinasti Safawiyah secara sengaja menjadikan Syiah sebagai ideologi negara, hanya karena permusuhannya dengan sesama Muslim di India dan Turki.
Kondisi sosial seperti itu, pada gilirannya, menciptakan suasana tidak toleran yang bersifat global di kalangan umat Islam. Tak segan-segan masyarakat jadi terdorong untuk mengubah tradisi perbedaan paham yang dinamis menjadi percekcokan dan konflik politik yang kotor. Konflik duniawi semacam itu acap menyatakan diri dalam konflik paham keagamaan.
Dalam kondisi serba mundur...