REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran perempuan dalam penanggulangan iklim dinilai sangat signifikan. Founder Peri Bumi and Rootslearning Centre Yasmina Hasni mengatakan, sudut pandang perempuan akan memperkaya upaya penanggulangan iklim.
"Kalau peran ibu jelas spesifik sebagai pengambil kebijakan utama di rumah, yang belanja ibu-ibu, yang menentukan menu ibu-ibu, yang mengatur semua keuangan Ibu-ibu, jadi kalau perempuan memiliki sudut pandang dalam memitigasi, beradaptasi dengan perubahan iklim tentu akan kaya unsurnya," kata Yasmina dalam diskusi tentang partisipasi perempuan dalam energi, edukasi dan & ekonomi yang diselenggarakan PBB Perempuan, Sabtu (22/6/2024).
Yasmina mengatakan, perempuan memiliki banyak perspektif dalam melihat dan melakukan aksi nyata dalam penanggulangan perubahan iklim. Yasmina mengatakan ibu rumah tangga biasanya lebih aktif di lingkungan tempat tinggalnya.
Koordinator Komunikasi dan Layanan Informasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Khoiria Oktaviani mengatakan, kelompok yang memiliki perhatian lebih pada pembinaan sumber daya manusia adalah perempuan.
Khoiria mengelola program magang Kementerian ESDM, Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (GERILYA).
"Di kami sendiri di program Gerilya saya memiliki manager programnya perempuan, saya memilih perempuan lagi, karena memang kepeduliannya untuk bisa membesar sebuah program berbeda," katanya.
Khoiria mengatakan solusi yang ditawarkan perempuan terkadang lebih banyak dari laki-laki. PBB mengatakan krisis iklim tidak berdampak pada semua orang secara merata. Perempuan dan anak perempuan menghadapi dampak yang tidak proporsional dari perubahan iklim.
Sebagian besar karena mereka adalah mayoritas penduduk miskin di dunia, yang sangat bergantung pada sumber daya alam lokal untuk mata pencarian mereka, khususnya di daerah pedesaan, perempuan dan anak perempuan sering kali bertanggung jawab untuk mengamankan makanan, air, dan kayu bakar untuk keluarga mereka.
Selama masa kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu, perempuan pedesaan bekerja lebih keras, berjalan lebih jauh, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengamankan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga mereka.
Hal ini juga dapat membuat mereka lebih rentan terhadap peningkatan risiko kekerasan berbasis gender, karena perubahan iklim memperparah konflik, ketidaksetaraan, dan kerentanan yang sudah ada.
Ketika terjadi bencana cuaca ekstrem, perempuan dan anak-anak memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan laki-laki, sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap informasi, mobilitas yang terbatas, pengambilan keputusan, dan sumber daya.
Diperkirakan empat dari lima orang yang mengungsi akibat dampak perubahan iklim adalah perempuan dan anak perempuan. Bencana akut juga dapat mengganggu layanan penting, termasuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi, sehingga memperparah dampak negatif bagi perempuan dan anak perempuan.