Oleh : Ahmad Zayadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji, sebagai rukun Islam kelima, memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Bukan sekadar ritual keagamaan, haji juga merupakan sebuah simbol kesatuan dan persatuan umat Islam dari seluruh dunia. Setiap tahun, jutaan muslim berkumpul di Tanah Suci, menjalankan serangkaian ibadah yang penuh makna.
Dalam perspektif hubungan internasional, haji berfungsi sebagai diplomasi melalui jembatan dialog antar peradaban, budaya, dan kultur yang berbeda. Di sini, umat Islam dari berbagai latar belakang bertemu dan berinteraksi, menciptakan ruang bagi pengertian dan toleransi. Haji menjadi laboratorium nyata untuk menguji sejauh mana kita bisa menerima dan menghargai keragaman di antara umat muslim.
Lebih dari itu, haji juga mencerminkan konsep diplomasi dalam skala global. Kehadiran jemaah haji dari berbagai negara-bangsa membuka peluang dialog lintas budaya dan peradaban yang berharga. Interaksi ini bukan hanya memperkuat persaudaraan di antara sesama muslim, tetapi juga memberikan contoh nyata bagaimana prinsip-prinsip moderasi dan toleransi dalam kehidupan beragama dapat diterapkan.
Haji, dalam konteks ini, mengajarkan kita pentingnya hidup berdampingan secara harmonis, menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, haji menjadi wahana untuk membangun jembatan perdamaian dan memperkuat ikatan persaudaraan global yang didasari oleh pemahaman dan penghormatan terhadap keragaman.
Haji dan Jejak Diplomasi Indonesia
Tulisan berjudul Misi Hadji R.I jang Pertama yang terbit di Koran Patria (1968) menyebutkan, pasca kemerdekaan, pelaksanaan ibadah haji oleh Pemerintah Indonesia tahun 1948 bukan hanya sekedar melaksanakan serangkaian ibadah haji belaka, namun mempunyai tujuan juga untuk menyampaikan misi yang bersifat diplomatis, menarik simpati atas perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Rombongan misi haji tersebut terdiri dari KH Mohammad Adnan (Ketua) dan Saleh Su’aidy (Sekertaris) ini banyak menuai hasil positif, yakni dengan mendekatnya negara-negara Arab dan dunia Islam kepada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia serta menjauhkannya dari hasutan yang dilancarkan oleh NICA dan kroninya. Secara politis, pemberangkatan misi haji ini menggugah simpati dari negara-negara Islam, sehingga baik de facto maupun de jure, mereka mengakui kedaulatan Republik Indonesia (Kusairi dan Islamil, 2023).
Berkaitan dengan Kerajaan Arab, jauh sebelum merdeka, Indonesia juga pernah menghadapi situasi yang tidak jauh berbeda. Komite Hijaz, yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, menjadi salah satu tonggak penting dalam diplomasi umat Islam Indonesia. Dibentuk pada tahun 1926, Komite Hijaz bertujuan untuk menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia kepada Raja Ibnu Saud, terutama terkait kebijakan yang dapat merugikan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.
Kiai Wahab, dengan kepiawaiannya dalam diplomasi dan lobi, berhasil memimpin tim tersebut dalam menyampaikan beberapa misi, terutama mengenai kebebasan bermazhab dan pelestarian tempat bersejarah. Misi ini menunjukkan tidak hanya kemampuan diplomasi ulama Indonesia pada masa itu tetapi juga komitmen kuat terhadap perlindungan dan pengembangan tradisi keagamaan yang inklusif. Prestasi Komite Hijaz menjadi inspirasi bagi praktik diplomasi pemerintah Indonesia, salah satunya melalui Kementerian Agama dalam penguatan moderasi beragama di tingkat global.
Indonesia-Saudi Hari Ini
Lihat halaman berikutnya >>>