REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mewaspadai ancaman depopulasi atau berkurangnya jumlah penduduk pada 2045. Potensi depopulasi tersebut terbaca seiring terus melambatnya pertambahan jumlah penduduk di Tanah Air.
Sesuai proyeksi penduduk 2020-2050 yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia muda akan terus berkurang, sementara jumlah penduduk usia lanjut bertambah pada 2045 atau saat Indonesia genap berusia 100 tahun.
Di sisi lain, dua negara maju di Asia, Korea Selatan dan Jepang kini dipusingkan dengan ancaman depopulasi yang sudah ada di depan mata. Kondisi ini bahkan mencapai titik kritis hingga kedua negara mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi persoalan tersebut.
Jumlah penduduk Jepang mulai menurun setelah mencapai puncaknya di angka 128 juta pada 2008, menjadi 125 juta pada 2022. Jika tren ini terus berlanjut, populasi Jepang diproyeksikan menurun menjadi 63 juta pada 2100, setengah dari populasinya pada tahun 2022. Di balik tren ini, terdapat penurunan angka kelahiran di Jepang.
Angka kelahiran di Jepang menurun dari 9,5 kelahiran per 1000 wanita pada tahun 2000 menjadi 6,8 per 1000 pada tahun 2020. Penurunan jumlah penduduk dan tingkat kelahiran ditambah dengan harapan hidup yang panjang telah menghasilkan populasi yang menua.
Proporsi penduduk berusia di atas 65 tahun meningkat dari 17,4 persen pada tahun 2000 menjadi 29,0 persen pada tahun 2022 dan diproyeksikan meningkat menjadi 41,2 persen pada tahun 2100.
Sebaliknya, penduduk usia kerja (penduduk berusia antara 15 dan 64 tahun) menurun dari 68,1 persen dari populasi pada tahun 2000 menjadi 59,4 persen pada 2022, dan diproyeksikan menurun menjadi 51,1 persen pada 2100.
Ketua di Institut Riset Ekonomi, Perdagangan dan Industri, dan Penasihat Riset Senior untuk Presiden Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur, Shujiro Urata, menjelaskan ada beberapa alasan untuk penurunan populasi ini. Salah satunya adalah tingginya biaya ekonomi untuk memiliki dan membesarkan anak. Hal ini, kata Shujiro, merupakan masalah yang sangat akut bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, di mana para pencari nafkahnya sering kali merupakan pekerja tidak tetap.
Menurut laporan tentang pendapatan rumah tangga dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, pendapatan rata-rata rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tidak tetap adalah sekitar 60 persen dari pendapatan rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tetap. “Masalah ini mungkin mencerminkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar,” ujar dia, dikutip dari eastasiaforum, Sabtu (22/6/2024).
Alasan lainnya, kata dia, adalah perubahan gaya hidup. Di masa lalu, sebuah keluarga pada umumnya terdiri dari seorang pria dan seorang wanita yang menikah sebelum berusia 30 tahun dan kemudian memiliki anak. Sang istri membesarkan anak-anak ini sementara sang suami mencari nafkah. Pola ini berubah ketika orang-orang mulai mengejar aspirasi mereka sendiri dan masyarakat mulai menerima keragaman. Merefleksikan perubahan ini, jumlah pernikahan per 1.000 orang menurun dari 10 pada tahun 1970 menjadi 6,4 pada 2000 dan menjadi 4,1 pada 2022.
Dia menyatakan, pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk mengatasi depopulasi, tetapi sejauh ini belum efektif. Menyadari keseriusan masalah depopulasi, pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida merumuskan 'Arahan Strategi untuk Masa Depan Anak' pada Juni 2023 dengan tujuan menghentikan penurunan jumlah kelahiran.
Rencana percepatan ini memberikan bantuan keuangan kepada pasangan muda untuk membesarkan anak, karena biaya ekonomi yang tinggi untuk membesarkan anak merupakan salah satu kendala utama bagi calon pengantin.
Sementara itu, Presiden Yoon Suk Yeol pada Rabu (19/6/2024) menyatakan Korea Selatan berada dalam "darurat demografi nasional" akibat menurunnya populasi, seraya berjanji melakukan segala upaya untuk mengatasi tingkat kelahiran yang sangat rendah di negara itu. Pernyataan tersebut disampaikan Yoon dalam pertemuan komite kepresidenan mengenai rendahnya angka kelahiran dan populasi menua di tengah prospek suram dan peringatan bahwa populasi Korea Selatan pada akhirnya bisa punah.
"Hari ini, saya secara resmi mendeklarasikan darurat demografi nasional. Kami akan mengaktifkan sistem respons komprehensif antarpemerintah hingga masalah rendahnya angka kelahiran dapat teratasi," kata Yoon dalam pertemuan yang diadakan di pusat penitipan anak di Pusat Penelitian dan Pengembangan HD Hyundai di Seongnam, selatan Seoul.
Tingkat kesuburan total Korea Selatan atau jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita sepanjang hidupnya, turun ke titik terendah baru yaitu 0,72 pada 2023, jauh di bawah tingkat penggantian sebesar 2,1 yang diperlukan untuk mempertahankan populasi negara tersebut pada angka 51 juta.
Pemerintah telah mencoba berbagai insentif untuk membantu memikat keluarga agar memiliki anak selama satu dekade terakhir. Namun, sejumlah faktor, termasuk harga rumah yang mahal, biaya pendidikan dan jam kerja yang panjang, telah membuat kaum muda enggan untuk memulai keluarga dan memiliki bayi.
Yoon menguraikan tiga bidang utama yang fokus pada keseimbangan pekerjaan dan kehidupan, peningkatan perawatan anak, dan penyediaan perumahan yang lebih baik untuk mengatasi masalah yang kompleks
Langkah tersebut mencakup menaikkan tunjangan cuti orang tua dan perpanjangan cuti ayah, dengan tujuan untuk menaikkan tingkat penggunaan cuti ayah dari saat ini 6,8 persen menjadi 50 persen selama masa jabatan Yoon.
Sementara itu, rumah tangga dengan bayi baru lahir akan diberikan prioritas dalam alokasi perumahan dan pinjaman berbunga rendah untuk pembelian rumah guna mendorong lebih banyak pasangan pengantin baru memiliki bayi. Selain itu, manfaat pajak untuk rumah tangga yang memiliki anak akan diperluas.
Potensi resesi seks di Indonesia sudah diperhitungkan. Baca di halaman selanjutnya.