REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai usulan defisit anggaran sebesar 2,29 persen hingga 2,82 persen dari PDB dalam RAPBN 2025 akan membebani pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Eko menyampaikan defisit anggaran tersebut akan menjadi rekor tertinggi sepanjang berdiri negeri ini.
"Bagi saya ini tetap mengekang pemerintahan baru. Kalau ada gejolak ekonomi luar biasa maka ruang untuk manuver sempit dan semakin sulit negoisasi dengan DPR," ujar Eko dalam seminar Indef bertajuk "Presiden Baru, Persoalan Lama" di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Berdasarkan data pemerintahan sebelumnya saat RAPBN masa transisi, Eko memaparkan RAPBN 2005 tercatat sebesar 0,8 persen dari PDB, kemudian naik menjadi 1,6 persen dari PDB pada 2010, lalu 2,32 persen dari PDB pada 2016, dan 1,52 persen hingga 1,75 persen dari PDB pada 2020. Eko berharap realisasi defisit anggaran tidak lebih dari 2,5 persen demi memberikan ruang fiskal dalam mengantisipasi dinamika ekonomi ke depan.
"Pemerintahan baru biasanya tidak menggeber defisit anggaran di awal supaya kalau ada gejolak ekonomi luar biasa masih ada ada relaksasi atau negoisasi dengan DPR. Saya harap nanti masih di bawah 2,5 persen sehingga masih ada ruang untuk manuver secara politik," kata Eko.
Eko menyebut tingginya defisit anggaran juga menimbulkan sentimen negatif dari pelaku usaha maupun investor. Eko mengatakan pelaku ekonomi melihat defisit anggaran sebagai cermin bagaimana perekonomian Indonesia ke depan.
Eko menilai usulan defisit anggaran yang melebar hingga hampir tiga persen disambut negatif oleh pelaku ekonomi. Eko mengatakan hal ini tentu menurunkan kepercayaan industri terhadap model kebijakan pemerintah.
"Sebetulnya defisit melebar itu tanda pertumbuhan ekonomi akan bagus, tapi yang terjadi saat ini berbeda, defisit mulai diperlebar tapi reaksi pasar itu justru menolak, malah merasa itu tidak berkelanjutan," ujar Eko.
Eko mengingatkan tantangan ekonomi pemerintahan Prabowo, mulai dari risiko kenaikan cukai, PPN sebesar 12 persen, inflasi pendidikan, risiko harga BBM, LPG, hingga bahan pokok. Untuk itu, Eko mendorong pemerintah untuk fokus menggenjot daya beli masyarakat sebagai salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.
Eko mengatakan pemerintah memiliki dua momentum dalam meningkatkan konsumsi. Ekonomi menyebut dua hal yang menjadi momentum dalam meningkatkan ekonomi ialah saat libur akhir tahun dan juga pilkada.
"Tantangan saat masa transisi 100 pertama, fokus agar daya beli meningkat. Kita menyarankan pemerintah untuk memperbaiki daya beli karena itu kunci utama. Setelah itu, ekspektasi terhadap nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi akan membaik," kata Eko.