REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mesir membantah laporan mengenai kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) untuk menyiapkan daftar pasien dan pelajar Palestina yang akan meninggalkan Jalur Gaza, di tengah serangan mematikan Israel di daerah kantong tersebut. Isu itu bermula dari laporan yang menyebar di media sosial tentang pembicaraan telepon antara Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dan Menlu AS Antony Blinken untuk membahas pendaftaran pasien dan pelajar yang ingin meninggalkan Gaza.
"Laporan ini tidak berdasar," kata Juru Bicara Kemlu Mesir Ahmed Abou Zeid dalam sebuah pernyataan, Senin (24/6/2024).
Ia menegaskan tidak ada pembicaraan telepon antara kedua diplomat senior tersebut. "Tidak benar ada kesepakatan semacam ini," ujar Ahmed, menambahkan.
Bulan lalu, tentara Israel merebut wilayah Palestina di perbatasan Rafah dengan Mesir—satu-satunya akses warga Gaza ke dunia luar. Sejak saat itu perbatasan ditutup dan memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah sulit di wilayah Palestina.
Pada Senin pagi, saluran berita Al-Qahera News milik pemerintah Mesir, mengutip sumber senior Mesir, menegaskan kembali penolakan Mesir untuk mengelola perlintasan Rafah dengan koordinasi Israel. Pembicaraan tidak langsung antara Israel dan Hamas, yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan AS untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata permanen di Gaza, menemui jalan buntu.
Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan 7 Oktober tahun lalu oleh Hamas. Lebih dari 37.600 warga Palestina tewas dan hampir 86.100 orang lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Selama delapan bulan perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza terbengkalai di tengah keterbatasan persediaan makanan, air bersih, dan obat-obatan.