Rabu 26 Jun 2024 07:04 WIB

Ketika Kata ‘Radikal’ Babat Habis Jenggot Ratusan Ribu Pria Tajikistan

Tajikistan menerapkan sejumlah kebijakan anti Islam.

Rep: Fuji E Permana, Fitrian Zamzami/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pria Tajikistan. Tajikistan menerapkan sejumlah kebijakan anti Islam
Foto: ANTARA FOTO
Ilustrasi pria Tajikistan. Tajikistan menerapkan sejumlah kebijakan anti Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tak hanya soal busana Muslimah yang dilarang, tetapi Tajikistan benar-benar ‘menggila.’

Salah satu kebijakan yang menua kontroversi selama kurang lebih satu decade ini adalah larangan memelihara jenggot. Alhasil atas dalih mencegah radikalisme, pemerintah Tajikistan tak ragu untuk memotong secara paksa jenggot pria Muslim.

Baca Juga

BACA JUGA: Akhirnya Akui Berikan Rp 1,3 M ke Firli Bahuri, SYL Ungkap Alasan dan Kronologi Penyerahan

"Mereka menyebutku salafi, radikal, musuh bersama. Dua dari mereka memegang tanganku lalu sebagian lainnya mencukur jenggotku secara paksa," kata seorang pria Muslim, Djovid Akramov, sebagaimana dikutip dari arsip BBC 2016 lalu.

Akramov mengatakan dirinya dihentikan polisi Tajikistan di luar rumahnya, bersama dengan putranya yang berusia tujuh tahun, bulan lalu - dan dibawa ke kantor polisi di Dushanbe di mana ia dicukur secara paksa.

Dia menjadi salah satu dari ratusan ribu pria di Tajikistan yang ditangkap dalam beberapa tahun terakhir karena memelihara jenggot.

Mencukur jenggot adalah bagian dari kampanye pemerintah yang menargetkan tren yang dianggap "asing dan tidak sesuai dengan budaya Tajikistan".

Ketika pada 2015 misalnya, dalam kurang dari satu pekan saja, polisi di wilayah Khatlon, Tajikistan, mengatakan bahwa mereka telah mencukur jenggot hampir 13 ribu pria sebagai bagian dari "kampanye anti-radikalisasi". Mereka juga diambil sidik jarinya pada tahun itu sebelum dicukur.

Di mata pendukung pemerintah, Pembatasan yang jelas pada jenggot mendapat public. Saidmukarram Abdulqodirzoda, Ketua Dewan Islam Tajikistan yang ditunjuk oleh negara.

"Tindakan ini dibenarkan oleh kebutuhan akan keamanan dan kemampuan untuk mencocokkan foto paspor dengan wajah orang yang sebenarnya. Inisiatif ini akan membantu mengidentifikasi [warga Tajik] dengan lebih baik," kata Abdulqodirzoda, dengan mencatat keberadaan anggota "kelompok etnis yang berbeda dari negara tetangga, Afghanistan."

Pendekatan serupa dilaporkan baru-baru ini, terhadap para migran Tajik yang melakukan perjalanan ke Rusia. Para penjaga Rusia di perbatasan Kazakhstan-Rusia menuntut orang-orang Tajik mencukur jenggot mereka, bahkan memberikan pisau cukur listrik untuk melakukannya.

Sekitar 97 persen orang Tajik adalah Muslim, tetapi kegiatan keagamaan sangat dibatasi selama tujuh dekade di bawah dominasi Soviet.

Selain larangan jenggot panjang bagi pria, para pejabat Tajikistan juga memberlakukan aturan berpakaian yang ketat terhadap gaya berpakaian "impor", termasuk kerudung, yang dikenal dengan hijab, bagi wanita.

Rahmon adalah pendukung utama kehidupan budaya sekuler bagi 8,5 juta penduduk Tajikistan, yang telah menyumbangkan jumlah militan yang sangat besar kepada ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya di Suriah dan Irak pada tahun-tahun sebelumnya.

Rahmon memberikan pidato yang disiarkan di televisi pada 2017 di mana ia mendesak warga Tajikistan untuk tidak memelihara jenggot atau mengenakan hijab. "Cintailah Tuhan dengan hati," katanya, bukan melalui "atribut eksternal" seperti jenggot.

Kampanye pemerintah ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk memerangi radikalisasi, di tengah kekhawatiran bahwa Asia Tengah dapat mengikuti jejak negara-negara seperti Afghanistan, Irak, atau Suriah yang mengarah ke ekstremisme.

Diperkirakan antara 1.500 hingga 4.000 warga Asia Tengah telah bergabung dengan berbagai kelompok militan Islam di Suriah, pada Juni 2015.

Langkah melarang jenggot dipandang sebagai bagian dari kampanye pemerintah yang lebih luas untuk menentang adopsi praktik-praktik budaya Islam dalam masyarakat Tajik, dan untuk melestarikan tradisi-tradisi sekuler.

Sementara itu, Tajikistan resmi... 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement