REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, pembicaraan tentang khodam menjadi ramai di beberapa platform media sosial (medsos). Di TikTok, misalnya, fenomena akun-akun "cek khodam" menjadi tren. Itu pun disambut para warganet (netizen) yang memberikan "hadiah" (gift) untuk mereka mengetahui khodam apa yang dimilikinya.
Kata khodam berasal dari bahasa Arab, khadam atau khadim. Bahasa Indonesia menyerapnya menjadi khadam, yang berarti 'pelayan' atau 'orang gajian.' Jadi, konotasinya tidak (selalu) berkaitan dengan hal ihwal yang gaib atau mistik.
Seperti dijelaskan dalam buku Ensiklopedi Islam, khadam atau khadim berasal dari bahasa Arab yang artinya 'pelayan.' Pada mulanya, istilah ini di dunia Arab diberikan kepada para pembantu rumah tangga atau pelayan yang berstatus merdeka (bukan hamba sahaya).
Tugas mereka adalah menyelesaikan pelbagai urusan rumah, seperti memasak, menghidangkan makanan, membersihkan tempat tidur, menyapu, mencuci pakaian, atau mengurus taman. Bahkan, pekerjaannya pun termasuk mencukur janggut si majikan.
Dalam cerita Alfu Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam), para khadim disebut sebagai al-farrasy (tukang membereskan tikar). Tradisi khadam mulai ada ketika bangsa Arab (Islam) menjadi golongan elite penguasa, yang pengaruhnya mencakup wilayah-wilayah luar Jazirah Arab, termasuk Persia (Iran).
Kemudian, istilah khadam ini memiliki arti terhormat. Sebab, setiap surat yang dikirim oleh para sultan atau penguasa daerah diawali dengan kalimat "ilaa khadimina" (kepada para penglimaku). Ini sebagai pengganti sapaan "ilaa shahibina" (kepada para sahabatku).
Di kalangan para elite Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, orang yang berstatus khadam dapat diketahui dari nama akhirnya yang ditambahi dengan "agka" atau "agha." Misalnya, jika seorang khadam bernama Mehmed Ali, maka biasanya ia dipanggil Mehmed Ali Agka.
Umumnya masyarakat elite Turki kala itu memiliki khadam yang berasal dari orang-orang Yunani dan Armenia. Di kalangan mereka, istilah khadam kemudian juga diberikan kepada para pembesar kerajaan yang membantu sultan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Di Mesir, pada abad ke-19 M sudah ada organisasi yang menghimpun para khadam (dalam arti: pembantu rumah tangga). Lembaga ini bertugas menyalurkan khadam dan menyediakannya bagi yang memerlukan. Selain itu, fungsinya juga melindungi para khadam dari kemungkinan tindakan buruk yang dilakukan masing-masing majikan tempat mereka bekerja.
Istilah khadam bisa juga menjadi sangat terhormat bila dikaitkan dengan Tanah Suci. Sultan Selim I, sosok yang menjadikan Turki Utsmaniyah sebagai sebuah kekhalifahan, mengaku dirinya sebagai Khadim al-Haramain (Pelindung Dua Kota Suci). Sebab, di masa kekuasaannya Utsmaniyah berhasil menguasai bukan hanya Baitul Makdis, tetapi juga Haramain--Makkah dan Madinah.
Bahkan sekarang pun, penguasa Arab Saudi juga menamakan dirinya sebagai Khadim al-Haramain. Sebab, diakuinya bahwa tugas mereka adalah melindungi Makkah dan Madinah, serta melayani jamaah haji di dua tanah suci (haramain).