REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masyarakat dari kepulauan Nusantara yang saat ini bernama Indonesia sejak era kolonial Belanda sudah banyak yang berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, biasanya memiliki pemikiran dan wawasan yang semakin luas, terutama terkait hak asasi manusia. Hal inilah yang dirasa menjadi ancaman bagi Belanda yang sedang menjajah masyarakat Nusantara.
Maka pemerintah kolonial Belanda sangat memantau dan mengawasi para jamaah haji untuk mengantisipasi pemberontakan. Satu di antara banyak peraturan kolonial Belanda adalah kebijakan pemakaian gelar haji di tengah masyarakat harus melalui ujian.
Sejarahnya dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir dengan orang-orang yang pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sebab saat mereka berada di Makkah, di sana sudah tidak ada lagi kasta, warna kulit ataupun jabatan sehingga membuat para haji menyadari bahwa semua orang itu memiliki hak yang sama.
Jika masyarakat Nusantara yang telah berhaji memiliki kesadaran bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, Belanda khawatir hal tersebut bisa memicu pemberontakan di wilayah jajahannya yakni Indonesia.
Maka pada tahun 1825, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan ibadah haji. Dalam peraturan tersebut, jamaah haji dari pulau Jawa diwajibkan membayar 110 Gulden untuk mendapatkan izin berangkat haji dan harus berangkat dengan kapal Belanda. Bagi mereka yang tidak mengambil izin dari pemerintah Belanda akan dikenakan dengan sebesar 1.000 Gulden.
Di tahun itu pula menjadi awal mula adanya monopoli keberangkatan haji yang menjadi kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda setelah mengetahui bahwa setiap tahunnya jumlah para calon jamaah haji semakin bertambah.
Pada tahun 1831, peraturan tentang ibadah haji diubah. Calon jamaah haji yang tidak membayar uang jalan sekembalinya akan dikenakan biaya dua kali lipat. Hal ini karena denda 1.000 Gulden yang sebelumnya diberikan memang terlalu berat, sehingga tidak ada yang mampu membayar serta angka yang ditetapkan juga terkesan mengada-ada.
Tahun 1852 peraturan kembali diubah. Surat izin atau paspor haji masih diwajibkan tapi gratis dan tidak ada denda pajak. Namun, Gubernur pemerintah Belanda menginstruksikan pengawasan yang lebih ketat kepada para haji.
Gubernur Pesisir Barat Sumatera diharuskan mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji pada umumnya dan memberikan laporan yang telah berangkat ke Makkah atau yang telah kembali dari Makkah.
Tahun 1859 dibuat peraturan baru yaitu paspor haji yang gratis, calon haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan.
Dalam peraturan yang dibuat tahun 1859, para jamaah haji yang pulang dari Makkah akan diuji terlebih dahulu oleh bupati, kepala daerah atau petugas yang ditunjuk sebelum bisa memakai gelar dan atribut haji. Hanya yang lulus ujian tersebut yang bisa dipanggil sebagai haji atau memakai pakaian haji.
Perubahan kembali dilakukan pada 1902 yaitu ketentuan tentang ujian dalam pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan. Hanya pengawasan terhadap para haji yang diperketat, dikutip dari buku Manajemen Haji dan Umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci yang ditulis Drs H Noor Hamid diterbitkan Semesta Aksara, 2020.