Rabu 03 Jul 2024 16:11 WIB

Boikot, ''Senjata'' Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina

Hanya butuh sekitar 3,5 persen dari populasi untuk mendorong perubahan politik.

Boikot produk Israel (ilustrasi).
Foto: muslimvillage.com
Boikot produk Israel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun boikot sering kali dianggap sebagai upaya langsung untuk memberikan tekanan ekonomi, namun pengaruh utamanya mungkin terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan kesadaran politik dan memicu aksi kolektif. 

Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan, Hilma Fanniar Rohman, mengatakan baru-baru ini pemegang waralaba Starbucks di Timur Tengah, Alshaya Group, mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 2.000 karyawan, atau sekitar empat persen dari tenaga kerjanya. Keputusan ini, diambil akibat ''kondisi perdagangan yang semakin sulit'' terjadi setelah boikot regional dan internasional terhadap perusahaan yang dianggap mendukung Israel atau tentaranya.

Baca Juga

Dengan serangan Israel di Gaza, Tepi Barat maupun Rafah, seruan untuk boikot juga semakin kuat di Barat. Hilma mengatakan teknologi memainkan peran kunci, dengan tagar di platform media sosial seperti X dan TikTok yang mengajak untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel.

"Aplikasi seluler seperti NoThanks dan Buycott juga membantu orang mengidentifikasi merek-merek yang relevan untuk diboikot," kata Hilma dalam siaran persnya beberapa waktu lalu.

Apakah boikot cukup?

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah boikot saja cukup untuk mempengaruhi perusahaan dan menghasilkan perubahan? Bagi mereka yang berharap boikot dapat membuat perbedaan, ada kabar baik. Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan politik Harvard, Erica Chenoweth, menunjukkan hanya butuh sekitar 3,5 persen dari populasi untuk mendorong perubahan politik. Ini menunjukkan meskipun suara-suara proaktif adalah minoritas, mereka tetap dapat membuat perubahan.

Sejarah dipenuhi dengan contoh boikot yang berhasil. Contohnya, pada tahun 1791 di Inggris, seruan untuk memboikot gula yang diproduksi oleh pedagang budak menyebabkan penurunan keuntungan dan mengubah opini publik terhadap perdagangan budak transatlantik, yang berakhir beberapa dekade kemudian.

Hilma mengatakan boikot anti-apartheid di Afrika Selatan juga efektif, mendorong pembeli internasional untuk “Melihat Labelnya.” Dikombinasikan dengan aktivisme internasional dan domestik yang lebih luas serta tekanan terhadap pemerintah Barat, boikot tersebut membantu mengakhiri rezim apartheid secara resmi pada tahun 1994.

Boikot meningkatkan kesadaran politik... (baca di halaman selanjutnya)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement