REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada 18 Juni 2024, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan pihaknya telah menyetujui rencana operasional serangan di Lebanon. Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz kemudian mengatakan bahwa Israel "sedikit lagi" memutuskan untuk "mengubah aturan" terhadap Hizbullah dan Lebanon, mengancam akan menghancurkan gerakan tersebut "dalam perang habis-habisan" dan "memukul keras" Lebanon.
Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah mengatakan gerakan tersebut dapat menyerang Israel utara jika konfrontasi semakin meningkat. Situasi di perbatasan Israel-Lebanon memburuk setelah dimulainya serangan militer Israel di Jalur Gaza pada Oktober 2023.
IDF dan pasukan Hizbullah saling baku tembak di kawasan sepanjang perbatasan setiap hari. Kementerian Luar Negeri Lebanon mengatakan sekitar 100 ribu orang harus meninggalkan rumah-rumah mereka di wilayah perbatasan, sementara Kemenlu Israel mengatakan sebanyak 80 ribu warganya harus melakukan hal yang sama.
Namun, para analis memperingatkan bahwa Tel Aviv akan menghadapi tantangan yang signifikan di semua bidang, mulai dari militer hingga politik, jika menempuh jalur tersebut.
Analis geopolitik, Giorgio Cafiero, mengatakan bahwa "tidak terbayangkan bagi Israel untuk mendapatkan kemenangan yang cepat dan menentukan" dalam konflik berskala besar dengan Hizbullah.
"Jika Israel memutuskan untuk melancarkan perang habis-habisan, konflik ini pasti akan berlangsung lama dan mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa untuk memajukan kepentingan keamanan Israel," kata Cafiero, CEO Gulf State Analytics, sebuah konsultan risiko geopolitik yang berbasis di Washington, kepada Anadolu.
"Sebaliknya, langkah seperti itu kemungkinan akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi bagi Israel."
Sejak Oktober lalu, telah terjadi lebih dari 7.000 serangan lintas batas antara Israel dan Lebanon, menurut perkiraan berbagai media.
Intensitasnya telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir, meningkatkan kekhawatiran di ibu kota di seluruh dunia, dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan negara-negara lain memperingatkan warganya untuk meninggalkan atau tidak melakukan perjalanan ke Lebanon. Berikut ini sejumlah dampak yang akan diakibatkan dari perang antara Hizbullah Lebanon dan Zionis Israel:
Pertama, salah satu kekhawatiran utama adalah bahwa perang yang lebih luas dapat meluas ke beberapa negara dan semakin mengacaukan kawasan.
"Perang antara Israel dan Hizbullah akan memiliki banyak potensi untuk menjadi regional dan internasional dengan sangat cepat, dalam tempo yang jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar daripada perang Israel di Gaza," kata Cafiero.
"Hal ini membuat situasi di Israel utara dan Lebanon menjadi situasi yang berdampak pada keamanan global."
Banyak negara Arab lainnya di Timur Tengah dan Afrika Utara yang dapat terkena dampak langsung, serta berbagai negara non-Arab di Mediterania, katanya.
Faktor utama yang meningkatkan risiko perang skala penuh antara Israel dan Hizbullah adalah "kelanjutan perang genosida Tel Aviv terhadap rakyat Gaza," katanya.
"Jika gencatan senjata diterapkan di Gaza, dengan semua pihak, termasuk Israel, mematuhinya, maka risiko perang antara Israel dan Hizbullah akan berkurang," jelasnya.
"Namun, bahkan jika ada gencatan senjata segera di Gaza, ada kemungkinan permusuhan antara Israel dan Hizbullah telah mencapai titik di mana mereka telah mengambil dinamika eskalasinya sendiri yang tidak dapat dibalikkan berdasarkan apa pun yang terjadi di Gaza."
Selanjutnya...