Kamis 04 Jul 2024 11:08 WIB

Bagaimana Islam Memandang Perkara Terpaksa?

Perkara terpaksa diistilahkan sebagai ikraah.

ILUSTRASI Sesuatu yang terpaksa dilakukan tidak mengapa.
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
ILUSTRASI Sesuatu yang terpaksa dilakukan tidak mengapa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada kalanya, seorang Muslim melakukan hal-hal yang di luar keinginannya. Kalau menolak, ia akan mendapatkan bahaya atau keselamatannya terancam.

Dalam bahasa Arab, paksaan adalah ikraah. Secara istilah, itu bermakna 'membawa manusia kepada urusan yang tidak diinginkannya secara wajar atau syariat." Orang yang dipaksa disebut sebagai mukrah.

Baca Juga

Pemaksaan bisa bermacam-macam bentuknya. Bisa dengan ancaman hendak dibunuh, dianiaya, dipenjara, dirusak hartanya, disiksa, atau dilukai. Tidak ada perbedaan apakah paksaan itu dari hakim, pencuri, ataupun dari yang lainnya.

Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Bilamana ada seorang penguasa memaksaku untuk berbicara dengan ancaman cambukkan baik sekali atau dua kali, maka aku akan berbicara demi untuk menghindarkan cambukan agar jangan menimpa diriku."

Ikraah itu terbagi menjadi dua jenis, yaitu untuk berbicara dan berbuat. Yang pertama itu berimplikasi bahwa sesuatu yang tadinya wajib menjadi tidak lagi wajib bagi orang yang dipaksa. Sebab, dia tidak lagi mukalaf.

Apabila dia mengucapkan kata-kata yang mengandung kekafiran, misalnya, dia dimaafkan menurut syariat sepanjang hal itu dilakukannya dalam keadaan terpaksa. Apabila dia berikrar, maka pernyataannya tidak bisa dipegang.

Bila dia dipaksa mengadakan akad nikah, hibah, atau jual beli, akadnya ini tidak berlaku. Bila dia bersumpah atau bernazar, maka sumpah atau nazarnya ini tidak menuntut sesuatu. Bila dia menceraikan istrinya atau merujuknya, maka tidak terjadi perceraian dan rujuknya pun tidak sah.

Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 106. Artinya, "Barangsiapa kafir terhadap Allah sesudah dia beriman, dia mendapat kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa); akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar."

Adapun paksaan untuk-berbuat terbagi menjadi dua bagian. Pertama, yang diperbolehkan oleh keadaan (darurat). Misalnya, paksaan untuk meminum khamar, memakan bangkai, memakan daging babi, memakan harta orang lain, atau hal-hal lain yang diharamkan Allah. Dalam keadaan yang demikian, maka ia diperbolehkan melakukan perbuatan itu semuanya.

Bahkan, di antara para ulama ada yang memandang wajib melakukannya bila memang tidak ada keselamatan kecuali dengan melakukannya. Begitu pula, umpamanya, orang yang dipaksa berbuka puasa Ramadhan atau sujud kepada berhala, maka dia diperbolehkan bila memang terpaksa melakukannya. Bagaimanapun, dapatlah dipasang niat dalam hati bahwa puasanya atau sujudnya hanya kepada Allah Yang Mahaagung.

Kedua, paksaan yang tidak diperbolehkan oleh keadaan (tidak darurat). Misalnya, paksaan untuk membunuh, melukai, menganiaya, berzina, dan merusakkan harta. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: ''Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dari dosa yang dilakukan karena kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan kepada mereka.'' Demikian disarikan dari buku Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement