Sabtu 06 Jul 2024 06:50 WIB

Politik Dinasti Mewabah di Pilkada Serentak 2024

32 persen kandidat di Pilkada Serentak 2024 terkait politik dinasti.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Fitriyan Zamzami
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 November 2024 nanti. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, politik dinasti kian mewabah pada helatan tersebut. 

"Makin lama politik dinasti makin menjadi-jadi. Tidak hanya di tingkat lokal, tapi menjalar ke tingkat nasional. Kita sudah lihat praktik itu di Pilpres 2024," kata pakar otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohan  dalam webinar nasional Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat tentang Pilkada 2024 dan Masa Depan Demokrasi Lokal, Jumat (5/7/2024) malam. 

Baca Juga

Berdasarkan data yang dimilikinya, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2014, ada sekitar 60 kepala daerah dan wakil atau 11 persen dari jumlah daerah otonom menerapkan politik dinasti. Angka itu mengalami peningkatan menjadi 117 kasus politik dinasti atau 21,5 persen dalam Pilkada 2018. 

Ia menambahkan, dalam Pilkada 2024, terdapat 175 kasus atau 32 persen politik dinasti. Artinya, kasus politik dinasti dalam pilkada terakhir sudah mencapai satu per tiga dari keseluruhan daerah otonom. “Sesudah bapaknya, nanti istrinya atau anaknya, atau menantunya. Ini yang kita musuhi ketika kita berada di Orde Baru dulu," kata Prof Djo, sapaan akrab Djohermansyah Djohan.  

Mantan dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu menuturkan, pernah ada upaya untuk mengantisipasi politik dinasti di pilkada. Pada 2015, sedianya sempat dimasukkan pasal soal larangan politik dinasti pada UU Pilkada tahun 2015.

photo
Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

Pasal 7 huruf r dalam beleid itu mengatur bahwa seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan pejawat alias incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah. Namun, aturan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Prof Djo mengatakan, harus ada perbaikan regulasi untuk mencegah terjadinya politik dinasti. Pasalnya, apabila tidak ada perbaikan regulasi, persoalan itu akan terus berulang. "Kalau ada kerabat maju, saran saya si pejawat (incumbent) cuti lah. Dia tidak bisa kita larang karena melanggar hak asasi, tapi cuti lah. Cuti saja, di luar tanggungan negara, selama kampanye," kata dia.

 

Tukang stempel... baca halaman selanjutnya

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement