Sabtu 06 Jul 2024 18:08 WIB

Mengapa Partai Buruh Bisa Mengakhiri 14 Tahun Dominasi Partai Konservatif di Inggris?

Pemimpin Partai Buruh, Keir Starmer menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris.

Perdana Menteri Pemimpin Partai Buruh Inggris Keir Starmer menyapa pendukungnya usai menyampaikan pidato politiknya di Tate Modern, London, Jumat (5/7/2024).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Perdana Menteri Pemimpin Partai Buruh Inggris Keir Starmer menyapa pendukungnya usai menyampaikan pidato politiknya di Tate Modern, London, Jumat (5/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, Partai Buruh memenangkan pemilihan parlemen, mengamankan 326 kursi yang dibutuhkan untuk memperoleh mayoritas di House of Commons (Dewan Rakyat/Majelis Rendah) di Inggris. Partai tersebut memenangkan 412 kursi di House of Commons yang memiliki 650 kursi, sementara Konservatif memperoleh 121 kursi.

Partai Buruh juga memenangkan daerah pemilihan "Tembok Merah" seperti Bolsover, dan daerah pemilihan penentu arah seperti Nuneaton dan Stevenage. Meski, penghitungan suara masih terus dilakukan, sudah dapat dipastikan bahwa Partai Buruh menjadi pemenang pemilu sekaligus mengakhiri 14 tahun dominasi Partai Konservatif di Inggris.

Baca Juga

"Saya telah mengubah Partai Buruh. Bila Anda mempercayai saya dengan memilih Partai Buruh, saya akan mengubah negara ini." Demikian disampaikan pemimpin oposisi Partai Buruh Inggris Keir Starmer melalui platform media sosial X, Jumat (6/7/2024).

Menurut BBC, keunggulan tersebut adalah yang terbesar kedua sepanjang sejarah pemilu Inggris, setelah kemenangan Parta Buruh pada 1997 atau pada abad ke-20. Mengapa Partai Buruh bisa menang besar atas Konservatif yang menduduki kekuasaan selama 14 tahun terakhir?

Media Washington Post menulis bahwa tren di Inggris adalah para pemilih selama ini telah muak dengan kebijakan Partai Konservatif yang berhaluan kanan tengah. Senada, opini di media Guardian juga menyebutkan bahwa para pemilih termotivasi oleh kemarahan terhadap kebijakan Konservatif sehingga pemilu kali ini terasa ada rasa "balas dendam" di dalamnya.

Konservatif, yang biasanya dicap sebagai partai yang solid dan "aman" selama ini, dinilai telah berubah dengan berbagai kebijakan "radikal" yang hasilnya ternyata tidak bagus bagi Inggris. Era Konservatif pada abad ke-21 bermula dengan terpilihnya David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris pada 2010, mengakhiri era 13 tahun kepemimpinan Partai Buruh sejak 1997.

Mengingat kondisi ketika Cameron terpilih, yaitu dampak dari Krisis Finansial Global 2007-2008 masih terasa sangat hangat, maka Konservatif memutuskan untuk melakukan program austerity atau pengetatan anggaran, dengan tujuan menyelamatkan defisit di APBN Inggris. Artikel New York Times pada 2019 menyatakan, kebijakan pengetatan anggaran telah mengubah Inggris yang melakukan pemotongan besar-besaran dalam pos anggaran untuk kesejahteraan sosial luas masyarakat.

Meski pemerintah Inggris menyatakan bahwa NHS (seperti BPJS Kesehatan di Republik Indonesia) terlindungi dari pengetatan anggaran, pengetatan anggaran berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk sejumlah layanan penting sosial, seperti untuk kepolisian, pemeliharaan jalan, perpustakaan, hingga bantuan perumahan untuk warga lanjut usia.

Menurut artikel tersebut, kajian yang dilakukan pakar PBB pada 2018 menyatakan upaya pemerintahan Konservatif untuk mengurangi pengeluaran anggaran ternyata malah meningkatkan tingkat kemiskinan serta menimbulkan berbagai kesengsaraan di salah satu negara terkaya di dunia itu.

Pemerintah Inggris ketika itu menyangkal temuan pakar PBB itu, tetapi sejumlah aspek menunjukkan turunnya kesejahteraan sosial dengan melakukan pengetatan anggaran, seperti meningkatnya warga yang menggunakan food bank atau bantuan pangan, serta naiknya angka kriminalitas di negara monarki tersebut.

Namun, degradasi kesejahteraan sosial itu akan semakin melesat dengan terjadinya Brexit, yaitu langkah Inggris Raya keluar sepenuhnya dari Uni Eropa. Cameron, dalam manifesto pemilu 2016, berjanji untuk menggelar referendum apakah Inggris harus tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak. Hasilnya, referendum pada 23 Juni 2016 menunjukkan hasil 52 persen pemilih mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa sehingga Cameron juga mengundurkan diri.

Para pakar ekonomi sebelum referendum telah mengeluarkan peringatan bahwa Brexit akan membuat perekonomian Inggris semakin terpuruk. Kajian pada 2019 juga menunjukkan tidak sedikit perusahaan Inggris lebih memilih membuat kantor di daratan Eropa serta perusahaan Eropa mengurangi investasi di Inggris.

photo
Kristen tak Lagi Mayoritas di Inggris dan Wales - (Badan Nasional Statistik Inggris)

 

sumber : Antara, Anadolu
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement