REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses merger yang sedang dilakukan Unit Usaha Syariah (UUS) BTN atau BTN Syariah dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk terkonfirmasi batal. Hal tersebut disampaikan Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI yang diikuti secara daring, Senin (8/7/2024) kemarin.
Menanggapi hal ini, Corporate Secretary Bank Muamalat Hayunaji mengatakan, pihaknya belum menerima informasi resmi terkini terkait rencana merger antara Bank Muamalat dengan BTN Syariah. Ia menekankan bahwa hal tersebut merupakan ranah dari BPKH selaku Pemegang Saham Pengendali (PSPP) Bank Muamalat.
"Kami akan mengikuti arahan dari PSP. Kami mengapresiasi upaya semua pihak dalam proses rencana merger antara Bank Muamalat dengan BTN Syariah," ujar Hayunaji kepada Republika, Selasa (9/7/2024).
Ia menjelaskan, merger merupakan salah satu aksi korporasi yang bersifat non-organik yang terpisah dari kegiatan organik atau business as usual. Dengan demikian hal ini tidak berdampak dan tidak mengganggu kegiatan organik atau business as usual baik untuk kegiatan bisnis maupun operasional Bank Muamalat.
"Kami senantiasa fokus pada kepentingan nasabah dan pemegang saham, khususnya dalam melayani aktivitas perbankan sehari-hari dengan mengedepankan tata kelola yang baik dan sesuai peraturan yang berlaku," tuturnya.
Sebelumnya, Dirut BTN Nixon Napitupulu menyampaikan bahwa pada dasarnya BTN tetap harus menjaga kesepakatan dengan Bank Muamalat. "Tapi secara umum kami sampaikan kepada pemegang saham baik pak Menteri (Menteri BUMN Erick Thohir) dan Wamen (Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo) dan kami sudah menyampaikan ke OJK tapi belum kami sampaikan di keterbukaan informasi bahwa kami tidak akan meneruskan akuisisi Bank Muamalat dengan berbagai alasan yang tidak bisa kami sampaikan," ujar Nixon.
Adapun aksi korporasi ini diharapkan rampung sebelum Oktober 2025. Rencananya, merger kedua bank tersebut akan membentuk bank umum syariah (BUS) yang akan fokus di segmen kredit pemilikan rumah (KPR), baik subsidi maupun nonsubsidi.
Dalam proses tersebut, BTN sudah menunjuk sekuritas, kantor akuntan publik (KAP), dan firma hukum terbesar di Indonesia untuk melakukan due dilligence. Aksi korporasi ini merupakan harapan dari POJK nomor 12 tahun 2023 yang mewajibkan bank syariah harus spin off apabila jumlah asetnya telah mencapai Rp 50 triliun atau 50 persen dari total aset induk, dan harus diselesaikan selambat-lambatnya dua tahun.