REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerajaan Arab Saudi memberi peringatan kepada negara-negara Barat anggota G-7. Riyadh dilaporkan tidak akan ragu untuk menjual sejumlah surat utang Eropa. Hal itu sebagai pembalasan atas tindakan G-7 yang menyita hampir 300 miliar dolar AS aset Rusia yang dibekukan.
Sesungguhnya, bukan kali ini saja Arab Saudi "menggertak" negara-negara Barat. Bahkan, pada masa pemerintahan raja Faisal bin Abdul Aziz dahulu, gertakan itu tidak sekadar retorika, melainkan aksi nyata. Akibatnya, negara-negara yang mendukung zionisme-Israel dihantam krisis energi atau bahan bakar minyak (BBM).
Faisal bin Abdul Aziz mulai menjadi raja Arab Saudi sejak 2 November 1964. Masa kekuasaannya dikenang sebagai awal modernisasi negara tersebut.
Raja Faisal membuka keran kebebasan berpendapat, yang lebih progresif daripada era pendahulunya. Dalam bidang ekonomi, ia mencanangkan pembangunan industri dan pertanian. Visinya sudah menjangkau jauh agar Saudi tidak melulu bergantung pada pemasukan dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi.
Dalam konteks regional Timur Tengah, ia terdepan dalam mengimbau kerja sama negara-negara Arab, termasuk dalam memerangi Zionis-Israel.
Yang luar biasa adalah manuver diplomatiknya di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Raja Faisal berhasil mewujudkan embargo minyak agar dilakukan negara-negara Arab anggota OPEC terhadap Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat pro-Israel. Embargo itu terjadi pada Oktober 1973, ketika konflik terjadi lagi antara entitas Zionis itu dan Palestina—serta sekutu Arab.
Kebijakannya itu akhirnya mampu menaikkan harga minyak dunia sehingga menguntungkan negara-negara Timur Tengah dan negara-negara OPEC pada umumnya, termasuk Indonesia. Alhasil, inilah pertama kalinya Indonesia mengalami masa kejayaan minyak dan gas bumi (oil boom).
Adapun oil boom kedua yang dialami RI ialah ketika revolusi pecah di Iran pada 1979 yang menyebabkan terganggunya pasokan migas dan, pada akhirnya, melonjakkan harga minyak dunia.
Bagaimanapun, bagi Raja Faisal, langkah caturnya di OPEC bukan demi bertambahnya profit itu sendiri, melainkan tujuan yang lebih luhur, yakni menekan AS dan sekutu-sekutu Barat yang pro-Israel. Ia pun mendukung perjuangan Palestina dengan menerjunkan pasukan ke medan perang dalam melawan Israel.
Di palagan yang terjadi di perbatasan Yordania-Israel serta dataran tinggi Golan dan Sinai, bala tentara Saudi diterjunkan. Berkat ketegasannya itu, Raja Faisal menjadi pemimpin yang paling berpengaruh di dunia Arab dan Islam. Tokoh ini dipandang sebagai pemersatu negara-negara Arab.
Pengaruhnya di tataran global memang diakui luas. Majalah Time menganugerahinya sebagai “Man of the Year” pada 1974. Namun, usianya kian dekat di ujung.
Meninggal dibunuh ....