REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus influencer Ahmad Rafif Raya yang diduga salah kelola saham hingga mencapai Rp 71 miliar menjadi refleksi bagi masyarakat dalam berhati-hati melakukan investasi. Pengamat menilai kasus-kasus semacam itu masih marak hingga saat ini lantaran karakter masyarakat Indonesia yang mudah diiming-imingi serta menyukai hasil yang instan.
“Kasus begitu masih marak karena yang pertama, masyarakat diiming-imingi, dia (influencer) meyakinkan konsumen bahwa bisnisnya cukup menggiurkan dalam arti cepat memperoleh manfaat. Kedua, karena watak masyarakat kita yang instan,” kata Pengamat dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (10/7/2024).
Kemudian yang ketiga adalah karena referensi masyarakat Indonesia berpatokan pada sosok atau tokoh. Sehingga mudah dipengaruhi ketika influncer memang memiliki 'nama' atau misalnya mencatut nama atau lembaga tertentu untuk meyakinkan calon konsumen.
“jadi, hal-hal itu mendorong bisnis-bisnis investasi bodong begini (masih marak), tapi banyak peminatnya. Ini kan sama dengan kasus pinjol (pinjaman online) ilegal,” tuturnya.
Sementara itu, secara spesifik mengenai salah kelola saham yang dilakukan influencer, Trubus menilai hal itu lantaran minimnya pemahaman influencer mengenai pengelolaan keuangan. Menurutnya, pengelola saham atau manajer investasi mestinya harus benar-benar berkompeten, bukan abal-abal.
“Saya melihat penyebabnya ini memang pada kurangpahamnya secara matang terhadap pengelolaan saham. Saham kan sifatnya fluktuatif dan dinamis, sehingga membutuhkan talenta tersendiri dalam mencermati dinamika atau fluktuasi saham,” tuturnya.
Sedangkan menurunya, influencer dalam mempromosikan pengelolaan saham lebih bertumpu pada nilai-nilai pencitraan atau gimik di media sosial. Bukan berfokus pada kualitas pengelolaan keuangan.
“Ini kan persoalan bisnis, ada peluang-peluang bisnis yang harus dimainkan dan pengetahuan matematis kalkulusnya yang juga harus baik. Karena ada sisi gambling juga sih, orang-orang yang berani terhadap high risk. Ini menurut saya ada ketidakmampuan ke sana, mereka akhirnya salah kelola saham berulang-ulang,” ujar dia.
Sebelumnya diketahui, kasus Ahmad Rafif Raya melalui perusahaan PT Waktunya Beli Saham mencuat di media sosial karena diduga ada salah kelola saham hingga Rp 71 miliar. Berkedok sebagai Manajer Investasi (MI), Rafif mengumpulkan dana dari konsumen dengan melakukan promosi melalui media sosialnya, @WaktunyaBeliSaham dan berhasil memengaruhi puluhan investor.
Tak hanya kasus itu, sebelumnya juga ada kasus-kasus serupa yang terjadi. Seperti kasus penipuan, penggelapan, dan kejahatan pasar modal hingga pencucian uang yang mendera Aakar Abyasa Fidzuno pada 2022 lalu. Aakar adalah pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) PT Jouska Finansial Indonesia yang masif mempromosikan tips dan trik mengenai cara mengelola dana.
Pada tahun yang sama, ada juga kasus Indra Kesuma atau Indra Kenz, influencer yang merupakan salah satu afiliator untuk platform Binary Option Binomo. Indra terbukti menjadi pelaku kasus penipuan, penyebaran kebohongan, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kerugian akibat aktivitas Indra Kenz disebut mencapai hingga Rp 83 miliar.
Indra Kenz memberi harapan palsu kepada masyarakat dengan iming-iming kaya raya secara instan lewat trading. Padahal Binomo tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti).