REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia tengah kedatangan tamu istimewa dari Mesir, yakni Grand Syekh Al-Azhar Prof Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al-Tayeb. Kunjungan Syekh al-Tayeb berlangsung selama empat hari yakni 8-11 Juli di beberapa daerah di Indonesia. Kunjungan ini merupakan kali ketiga imam besar Al-Azhar ini menyambangi Nusantara.
Siapa sebenarnya sosok imam besar yang memimpin salah satu institusi pendidikan Islam tertua di dunia ini? Dikutip dari laman egyptstudentinformation, sosok ulama ini lahir pada tanggal 3 Shafar 1365 H, bertepatan dengan tanggal 6 Januari 1946 M di sebuah daerah di provinsi Qina, Mesir sebelah selatan.
Syekh Tayeb lahir dari sebuah keluarga yang memiliki nasab yang bersambung kepada Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib Kw. Sejak kecil, dia gemar menghadiri majelis perdamaian antar suku yang diadakan oleh kakeknya Syekh Ahmad Tayeb dan ayahnya Syekh Muhammad Tayeb. Dia pun tetap mengikuti majelis itu ketika telah menjadi Syekh al-Azhar saat pulang ke kampung halamannya.
Sang syekh menghabiskan masa kecil di kampungnya. Dia belajar di madrasah al-Azhar, menghafalkan Alquran dan mempelajari dasar-dasar ilmu dengan metode al-Azhar.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di madrasah al-Azhar, dia masuk ke Universitas al-Azhar fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan Filsafat hingga lulus pada tahun 1969. Dia pun meneruskan pendidikannya di jurusan yang sama di Universitas al-Azhar hingga mendapatkan gelar Doktor pada tahun 1977.
Syekh Ahmad Tayeb juga dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud dan mengaplikasikan norma-norma agama melalui ilmu syariat dan tasawuf. Dia menjadi salah satu pimpinan tarekat tasawuf di tanah kelahirannya di daerah Luxor setelah ayahandanya wafat. Sisi kehidupan sufi ini terbukti saat sang syekh menyewa sebuah rumah di kawasan Nashr City dalam jangka waktu yang sangat panjang. Dia hanya tinggal seorang diri lantaran keluarganya berada di Luxor.
Setelah ditetapkan menjadi Grand Syaikh al-Azhar, pemilik rumah yang disewa oleh Syekh Tayeb menggratiskan rumah itu untuk syekh. Namun, sang syekh disebut-sebut hanya menganggap permintaan pemilik rumah sebagai lelucon.
Seorang pakar hukum dan pengacara senior, Prof. Dr. Jabir Jad Nasshar dalam tulisannya di sebuah media lokal Mesir, mengungkapkan, Syekh Tayeb sosok yang jauh dari kegelimangan harta. Ia pernah dihubungi oleh salah satu konsultan Grand Syekh al-Azhar, bahwa Syekh Tayeb enggan menerima gaji sebagai Grand Syekh al-Azhar, yang saat itu mencapai kelipatan puluhan ribu pon Mesir.
Setelah hal ini dilaporkan dan dibahas dengan pemerintah, pemerintah pun mengamini bahwa Grand Syekh al-Azhar berhak menentukan sendiri berapa gaji yang diterima. Setelah mengetahui isi perbincangan dengan pemerintah itu, sontak Syekh Tayeb berkata: “Apakah kalian ingin memotong tanganku?” (beliau menganggap menentukan gaji sendiri sama halnya mencuri uang al-Azhar dan umat Islam). Saya tidak akan menuntut gaji dari al-Azhar. Dan saya tidak akan menentukan gaji saya dari kas al-Azhar dan Kementerian Agama. Memang mustahil saya bekerja tanpa bayaran, tapi saya tidak akan menuntut satu keping mata uang pun dari kas al-Azhar.”
Pada bulan April lalu, Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Tayeb menerima penghargaan dan hadiah sebesar 1 juta dirham Emirat (2,5 miliar rupiah) dari Emirat Arab. Hadiah tersebut sebagai penghargaan kepada beliau yang selama ini memimpin al-Azhar yang moderat, santun dan rahmatan lil ‘alamin dalam mengemban misi Islam. Hadiah uang yang bisa untuk membangun rumah gedongan itu, langsung dihibahkan oleh Syekh Tayeb ke bendahara al-Azhar dan langsung masuk ke kas al-Azhar.