Kamis 11 Jul 2024 04:39 WIB

Penyalahgunaan Identitas Masyarakat untuk Judol, DPR Minta OJK Bergerak

Menurut anggota Komisi XI DPR, pencurian data pribadi semakin marak.

Rep: Antara/Erik PP/Eva Rianti/ Red: Erik Purnama Putra
Gedung DPR RI di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat.
Foto: Republika.co.id
Gedung DPR RI di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua isu penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja, yaitu Dewi Rahmawati dengan PT CAS dan BNI serta Kasus Muhammad Lutfi dan 27 pelamar kerja di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur (Jakim), menjadi bahan rapat kerja Komisi XI DPR bersama Dewan Komisaris OJK di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (9/7/2024). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sedang mendalami kasus penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja oleh oknum tertentu.

Hal itu karena identitas pelamar kerja digunakan untuk pembuatan rekening bank dan pengajuan pinjaman online (pinjol) tanpa sepengetahuan pemilik identitas yang sah. DPR RI pun meminta OJK menindak lembaga perbankan dan fintech jika memang melakukan penyalahgunaan data pribadi.

"Kenapa bisa terjadi penyalahgunaan data pribadi oleh HRD suatu perusahaan tempat yang bersangkutan melamar kerja dan data tersebut kemudian disalahgunakan membuka rekening di bank BUMN dan terdapat riwayat transaksi pada pinjaman online?" kata anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin dikutip di Jakarta, Rabu (10/7/2024).

Menurut Puteri, pencurian data pribadi semakin marak. Padahal, prosedur pembukaan rekening di bank itu selalu ada tahapan administratif yang harus dilengkapi. Namun, politikus Partai Golkar tersebut menganggap, ada celah yang bisa membuat orang berbuat kriminal. "Kami minta jajaran untuk bisa mendalami kejadian ini dan dibuka apa faktornya supaya bisa diambil langkah mitigasi ke depan," kata Puteri.

Anggota Komisi XI DPR RI lainnya, Kamrussamad menilai, dua kasus penyalahgunaan identitas pribadi tersebut menunjukkan betapa buruk kualitas industri keuangan di Indonesia. Dia menyampaikan validasi data sangat buruk sehingga membuat kepercayaan publik menurun.

"Karena itu perlu dievaluasi secara menyeluruh dan harus segera diberlakukan sertifikasi sistem pembayaran digital yang bersertifikat, yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan," kata Kamrussamad.

Politikus Partai Gerindra itu mendorong kementerian dan lembaga harus memiliki data center (DC) dan disaster recovery center (DRC) yang sebenarnya merupakan amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Kamrussamad, selama DRC belum ada, akan ada terus korban-korban lainnya.

Selepas rapat, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, pihaknya akan mendalami laporan masyarakat terkait penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja untuk pinjol hingga judol. Dia memastikan, OJK akan memberikan sanksi tegas apabila ada kelalaian dari pihak bank atau fintech.

"Kami akan lihat di lanjut pendalaman mengenai hal itu, karena tentu, kan, kalau hal itu benar dan demikian tentu tidak tepat dengan perilaku suatu perusahaan di desk keuangan. Kami akan dalami informasi tadi itu, ya, dengan data yang sebenarnya," kata Mahendra.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi menambahkan, pihaknya sedang memilah mana yang menjadi korban penyalahgunaan data pribadi dan mana yang bukan. Pasalnya, di lapangan, ada temuan orang itu mengaku-ngaku sebagai korban ternyata sebenarnya tidak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement