REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut psikologi, takut adalah kondisi kejiwaan yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya bila terjadi pada dirinya. Dalam bahasa Arab, takut dapat dinyatakan dengan khauf atau khasyyah.
Takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dari yang ditakuti. Adapun khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik dan disertai dengan pengetahuan (ma’rifah). Misalnya, dalam surah Fathir ayat ke-28, Allah berfirman:
اِنَّمَا يَخۡشَى اللّٰهَ مِنۡ عِبَادِهِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ غَفُوۡرٌ
"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun."
Khasyyah di sini merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan mengenai kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif. Dalam arti, perasaan takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya itu meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, tetapi juga melengkapinya dengan amalan sunah serta menjauhi hal-hal yang samar-samar (syubhat) status hukumnya.
Bagi Muslimin yang juga memangku jabatan publik atau bekerja sebagai aparat, takutnya kepada Allah berarti maslahat luas. Sebab, perasaan takut itu menjadikannya selalu yakin bahwa Allah Maha-melihat dan Maha-mendengar segala gerak-gerik dan perbuatannya.
Setidaknya, ada enam hal yang harus ditakuti oleh orang yang beriman. Pertama, takut akan siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kepada sesama.
Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka. Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia.
Kelima, takut akan akhir kehidupan atau kematian yang buruk (su’ul khatimah). Terakhir, takut akan azab kubur, pengadilan Allah, dan azab-Nya di akhirat kelak.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Sebab, perasaan ini dapat mengantarkan seorang hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Suatu negeri akan semakin rusak bila para pejabat dan aparatnya tidak takut kepada Allah. Pada akhirnya, korupsi semakin merajalela.
Bila suatu lingkungan sudah dipimpin oleh koruptor, maka bawahannya yang lemah iman akan menghadapi dilema. Padahal, perasaan takut sepantasnya hanya ditujukan kepada Allah.
اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيۡطٰنُ يُخَوِّفُ اَوۡلِيَآءَهٗ ۖ فَلَا تَخَافُوۡهُمۡ وَخَافُوۡنِ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ
"Sesungguhnya, mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku (Allah), jika kamu orang-orang beriman" (QS Ali Imran: 175).
Perasaan takut hanya kepada Allah SWT akan menjadikan seorang manusia semakin dekat dengan-Nya. Alhasil, ia tidak lagi takut kepada atasan yang korup, takut kehilangan jabatan, atau takut tidak memiliki masa depan.