REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Aswin Rivai,SE.,MM, Pemerhati Ekonomi Dan osen FEB-UPN Veteran Jakarta
Meskipun teknologi yang berkembang pesat seperti kecerdasan buatan generatif berpotensi memecahkan permasalahan global, teknologi tersebut juga dapat mengganggu perekonomian dan melemahkan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu dan secara aktif membentuk masa depan teknologi baru ini.
Puluhan negara di seluruh dunia, mulai dari Amerika Serikat hingga India, akan menyelenggarakan atau telah menyelenggarakan pemilu pada tahun 2024. Meskipun tahun ini mungkin tampak seperti tahun yang penting bagi demokrasi, pemilu ini diadakan dengan latar belakang ketidakstabilan ekonomi global dan pergeseran geopolitik dan semakin intensifnya perubahan iklim, yang menyebabkan meluasnya ketidakpastian. Yang mendasari seluruh ketidakpastian ini adalah pesatnya kemunculan teknologi-teknologi baru yang kuat, yang beberapa di antaranya telah mengubah bentuk pasar dan mengkalibrasi ulang dinamika kekuatan global.
Meskipun berpotensi menyelesaikan permasalahan global, hal ini juga dapat mengganggu perekonomian, membahayakan kebebasan sipil, dan melemahkan tata kelola pemerintahan yang demokratis. Seperti yang diungkapkan oleh Thierry Breton, komisaris Uni Eropa untuk pasar internal bahwa kita telah memasuki perlombaan global di mana penguasaan teknologi adalah hal yang penting untuk menavigasi “tatanan geopolitik baru.” Yang pasti, disrupsi teknologi bukanlah fenomena baru.